Lalu apa lagi?.
Siapa yang akan membeli buku ku?. Ah, aku kok jadi ragu!. Siapa yang sudi membacanya mungkin itu saja harapanku. Kebangganku kini berbanding terbalik ketika aku berfikir, hendak ku kemana kan buku yang telah ku cetak ini?.
Minimnya ilmu pemasaran. Tidak adanya survey pasar lebih dahulu, trend apa yang sedang diminati oleh pasar?. Baru sekarang terasa kalau aku cuma bermodalkan idealisme ku saja. Sebuah idealisme atau sebuah kekonyolan menjadi tipis sekali perbedaan nya. Cita-citaku yang menggebu kadang mudah kandas karena kurang percaya diriku lebih sering mengemuka jika melihat realita yang ada.
Jangankan mengharap untung besar dalam penjualan buku itu, ada yang mau membaca dan memberikan atensi dan komen atas isi buku ku saja sudah aku syukuri. Nama besar seorang penulis, hahahaha... kini cuma jadi impianku saja. Siapa yang kenal aku?, tetangga-tetangga dan saudara-saudaraku saja mengenalku sebelum mencetak buku dan sesudah mencetak buku sama saja. Apa ada yang berubah pada diriku?, kurasa sama saja. Cuma kepalaku saja yang kadang suka "membesar" karena sering mengidap penyakit Ge Er.
Tumpukan buku-buku di ruang perpustakaanku telah penuh sesak. Sebuah buku karyaku sendiri hampir tak ada tempat di rak perpustakaanku sendiri. Apakah aku mencetak buku hanya ingin menambah sesak saja?. Pikiran konyol itu membuat lompatan-lompatan pikiran, gagasan dan ide-ide ku berkelana kemana-mana, bebas mengembara karena ia tak dibatasi dimensi.
Aku pernah membaca, berapa hutan yang akan dirusak demi mencetak sebuah buku?. Mengapa sejauh itu aku berfikir, siapa sebenarnya yang telah merusak hutan?, merusak bumi?. Jawabannya adalah manusia.
Pikiranku melompat lagi, Bayangkan jika sebuah judul buku dicetak dalam beberapa eksemplar?. Berapa buku yang dicetak dalam sehari ini diseluruh dunia dikalikan dengan jumlah rata-rata eksemplar, akan menghasilkan angka yang dahsyat. Angka yang dahsyat itu jika dikalikan 365 hari dalam setahun akan menghasilkan sebuah angka yang pantas menjadi alasan manusia menebangi pohon, merusak hutan inchi demi inchi, merusak bumi hektar demi hektar setiap hari diseluruh muka bumi.
Lantas, jika terjadi bencana pada alam, kita mudah saja menuding bahwa Tuhan tidak adil. Bukankah ketidak seimbangan ekosistim pada bumi kita sendiri yang buat?.
Sebagai makhluk yang "mencoba" berbudaya dan beradab, aku pun miris melihat kenyataan itu. Keputusanku mencetak buku adalah sebuah keputusan yang terburu-buru, hanya mengejar popularitas dan nilai ekonomis semata. Sementara banyak sisi lain yang kurasa lebih bijak sebagai wadah tempatku ber-ekspresi. Melalui blog dan web site pribadiku, aku bisa terus berkarya tanpa dihantui perasaan sebagai perusak hutan. Blog ku di Kompasiana, merupakan wujud eksistensiku dalam dunia penulisan. Walau hanya ada di pojok sepi, dilirik saja pun, aku sudah bersyukur.
Sebuah Essai Kutu Kata, 281012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H