Malam, hujan rintik menusuk sepi.
Ku injak bau basah berpendar.
Mata merah ditikam amarah.
Wajah-wajah lelah, wajah tanpa alamat surat.
Menunggu takdir mengantar ke stasiun terakhirnya.
Dia rebahkan nasib diatas rel yang dingin.
Dia rebahkan rela... tanpa harap esok 'kan lahir kembali.
Entah dari mana dan mau kemana?. Malam menggigit ini masih saja dijejali wajah-wajah. Satu dua wajah kalah, berjuta wajah terjajah.
Terjajah pada rutininitas lelahnya. Terjajah pada lingkaran setan nasibnya.
Di sebuah stasiun nampak masih padat. Menunggu kereta terakhirr yang akan mengantarkannya ke stasiun-stasiun terakhirnya.
Hei Lelah, apa yang kucari ?. Hingga larut malam, rasaku seperti mesin yang terbuat dari besi-besi tanpa keinginan.
Kereta datang. Wajah-wajah gelisah bergegas tak ingin kalah. Sebagian kakii-kaki berjejal, mencelat lewat jendela. Bukan karena mereka senang desiran angin malam yang membelai wajah hampa. Mereka lebih memilih atap kereta sekedar untuk buktikan bahwa mereka tak sayang nyawa melayang.
Apa alasan mereka tak sayang nyawa melayang?. Siapa pula yang perduli pada kami?. Kata mereka. Didalam gerbong kereta telah penuh sesak. Bau parfum murahan bercampur sejuta ketiak payah.
Atau mereka suka tantangan?. Menantang mautnya dengan perkasa.
Ketika kereta berjalan dan berguncang, resiko jatuh terpeleset dari atap kereta, ancaman setrum yang setiap saat siap menerkam jiwa, dirasa sangat memacu adrenalin mereka. Listrik ribuan volt hanya berjarak beberapa jengkal dari kepala-kepala mereka. Selamat datang malaikat el-maut?.
Belum lagi jika kereta melewati kolong jembatan, mereka harus sigap menghindarinya jika tak ingin kepala mereka di remuk beton. Sebuah permainan russian roulette, hanya bergantung pada satu peluru yang menentukan hidup atau mati.
Apa yang mereka cari setelah lelah seharian, menyambung nyawa dengan membuang nyawa?.
Begitu mahalnya harga sebuah kenyamanan. Jika ia pantas ditukar dengan nyawa.
Jangan berharap mendapatkan kenyamanan apalagi kepuasan didalam KRL ekonomi ini. Bisa berjejal masuk seperti ikan cuek yang akan dikirim ke pasar saja sudah bagus dari pada terlantar di stasiun.
Malam, biarkan pencopet itu terkantuk-kantuk. Mungkin ia lelah setelah mencopet seharian.
Malam, biarkan tukang ngamen itu terlelap tidur. Setelah lelah seharian berteriak-teriak. Para pedagang asongan yang tak mau menyerah menjajakan dagangan demi seperak dua perak harapan. Para kerja seenaknya menggelar koran, duduk dan bersandar lalu coba ikut-ikutan memejamkan matanya jenuh. Para pelajar yang telat pulang kuliah. Wanita muda bahenol dengan dandanan menor, entah mau kemana?.
Kereta terakhir malam ini. Di tiap-tiap stasiun penumpang naik malah semakin berjejal. Fan rusak di langit-langit kereta yang tak pernah dan tak akan diperbaiki. Seandainya gerbong ini bisa berteriak. Bukan hanya teriakan lelah yang keluar dari mulutnya juga teriakan-teriakan ketakutan atas keselamatan nyawa penumpang di dalamnya.
Malam, aku pandangi mereka lesu. Bertanya pada hati, "apa yang mereka cari setelah lelah seharian?."
Tersisa tetes-tetes hujan yang menempel dikaca jendela, ketika kupandang arah keluar. Selebihnya gelap.
Malam, apa yang kucari setelah lelah seharian?.
Sementara anak istriku t'lah keluar rumah karena tak tahan di rundung susah.
*****
Kutu Kata si Kutu Buku Rangkat, DARK, 11072012.
@Stasiun Bogor, 08072012, di dedikasikan untuk anak istriku yang sampai saat ini setia bersama disampingku. Jangan engkau dirundung susah, cukup ayah saja yang rasakan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H