Kapolsek Sawahan, Surabaya, AKP Sih Widodo patut diberi acungan jempol dalam menjalankan kamtibmas, PSK juga patut dilindungi dari kejahatan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Untuk itu perlulah polisi turun kelokalisasi, bukan untuk merazia tetapi memberikan penyuluhan agar selektif menerima tamu.
Kata Pak Jaksa Agung didepan Komisi III DPR RI, perzinahan tidak perlu dibuktikan sedang berzina, berdua dikamar sudah merupakan bukti.
Disatu sisi polisi sedang melakukan fungsi sosial, dilain sisi Jaksa Agung bicara hukum, memang tidak ketemu karena tidak ada muatan apapun dibelakngnya. Tetapi jika dikaitan dengan Antasari Azhar, cerita menjadi lain, pandangan Kapolsek Sawahan yang memberikan pengarahan kepada PSK agar selektif menerima tamunya, agaknya perzinahan bukan melanggar hukum, tetapi untuk Antasari Azhar adalah bukti pelanggaran hukum.
Sikap Pak kapolsek itu memang ada dasarnya, lokalisasi itu ada karena tidak ditutup, apa alasan Pemkot Surabaya tidak menutupnya mungkin juga ada pertimbangan kemanusiaannya. Ditengah himpitan ekonomi saat ini, dari pada didemon karena langkanya lapangan kerja, prostitusi masih ditolelir sebagai sebuah jalan keluar penyediaan lapangan kerja.
Lain lagi cerita tentang Eci, ibu muda yang mencekik anaknya hingga tewas harus berurusan dengan polisi itu akhirnya meninggal dunia karena menderita leukimia. Mungkin ibu itu sudah mendapat firasat bahwa hidupnya tidak lama lagi, daripada si anak menderita nantinya, lebih baik dia bunuh saja. Bicara hukum maka polisi harus bertindak karena tidak mengetahui si ibu menderita penyakit yang mematikan.
Potret bangsa, potret hukum kita, untuk siapa hukum itu berlaku akan tergantung kebutuhan, menindak PSK tidak memberikan jalan keluar sama saja dengan menyapu halaman rumah, besok kotor lagi jika tidak disapu lagi. Terus menerus, waktu habis untuk melarang dan menindak yang tidak membawa hasil.
Jika pelacuran dilegalisir, setiap PSK mempunyai izin praktek lengkap dengan NPWP, sepertinya ada sumber pendapatan baru bagi pemerintah yang cukup potensial. Cukup lumayan untuk modal pemerintah memperhatikan nasib Ibu Eci atau Bilqis atau penderita2 lainnya yang masih banyak di Indonesia yang tidak mendapat perhatian.
Bicara agama, para Kyai dan Alim ulama tak bosan mengingatkan bangsa ini untuk berjalan sesuai perintah Allah, namun masuk telinga kanan keluar telinga kiri, maksiat, korupsi terjadi terus menerus. Mungkin harus pakai cara lain, kalau dilarang justru Korupsi dan maksiat berlangsung terus, kalau diperintah untuk berbuat maksiat atau korupsi, bisa jadi justru maksiat dan korupsi hilang.  Barangkali nanti kita akan menjumpai orang2 bangga karena melanggar perintah berbuat maksiat korupsi.
Melihat kebiasaan bangsa kita yang senang melanggar aturan, perintah berbuat maksiat dan korupsi mengkin akan dilanggar juga yang artinya tidak ada lagi perbuatan maksiat dan korupsi. Bukan karena insyaf tetapi karena ingin menunjukkan keberanian melanggar perintah. Terlebih jika dikeluarkan undang2 untuk berbuat maksiat dan korupsi, mungkin semua senang melanggar undang2 itu sebagai kebanggaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H