Mohon tunggu...
Zainul Kutubi
Zainul Kutubi Mohon Tunggu... Administrasi - Menceritakan sesuatu lewat tulisan

Suka menulis puisi di tumblr: tulisanzainn.tumblr.com | ig: @zkutubi | twitter: @Al_kutub | Email: Al_kutub@ymail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Berhenti Mengkambinghitamkan Pembinaan Usia Dini

19 November 2019   23:06 Diperbarui: 19 November 2019   23:20 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menonton pertandingan timnas senior akhir-akhir ini, mengingatkan saya pada tahun 2002 saat Indonesia dan Singapura menjadi tuan rumah Tiger cup (nama terdahulu piala AFF). Bertindak sebagai tuan rumah Indonesia berhasil mencapai babak final, setelah di semifinal mengalahkan Malaysia dengan skor 1-0, Bambang Pamungkas menjadi penyelamat berkat golnya di menit 75. Perlu diketahui format Tiger cup saat itu masih menggunakan home tournament, tidak seperti Piala AFF dewasa ini yang memakai sistem home&away ketika tim berhasil melaju ke babak semifinal dan final.

Partai final berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno 29 Desember 2002, Indonesia melawan Thailand, tim gajah putih lolos ke final setelah di babak semifinal mengalahkan Vietnam dengan skor telak 4-0. Tercatat jumlah penonton yang memadati Stadion Gelora Bung Karno saat  partai final mencapai 100.000 orang.

Babak pertama Indonesia tertinggal 0-2, setelah Chukiat Noosalung dan Therdsak Chaiman membobol gawang Hendro Kartiko. Babak kedua baru berjalan satu menit atau tepatnya di menit 46 Yaris Riyadi memperkecil ketertinggalan berkat sontekan kaki kanannya yang meluncur deras ke pojok kiri gawang Thailand, dan pada menit 79 tendagan keras Gendut Christiawan di area kotak pinalti merobek jala Thailand, skorpun bertahan hingga wasit Subkhiddin Mohammed Salleh meniup peluit panjangnya.

 Pertandinganpun dilanjutkan ke babak extra time, tak ada gol pada babak tambahan waktu itu, akhirnya adu tendangan pinalti menjadi penentu siapa yang berhak membawa Tiger cup edisi ke empat itu, Bambang Pamungkas dan Imran Nahumarury berhasil mengeksekusi pinalti dengan baik, Bejo Sugiatoro tendangannya membentur mistar gawang, sedangkan Firmansyah tendangannya melambung jauh di kiri atas gawang Thailand.

Ada dua momen yang masih saya ingat hingga saat ini, pertama: ketika pertandingan final saya menonton melalui layar Tv bersama Ayah dan teman sekolah saya, ketika itu saya masih duduk di kelas empat SD, teman saya kala itu Ahmad Sopi berjanji jika Indonesia juara, maka ia akan mengelilingi lapangan sekolah sebayak lima putaran dan membaluri wajahnya dengan cat merah dan putih serta membawa bendera merah-putih sebagai wujud syukur. Namun, hal itu urung terjadi karena Indonesia gagal meraih Tiger cup di Rumah sendiri.

Momen yang kedua: di setiap akhir pertandingan, komentator atau pengamat sepak bola di Tv pasti menganalisis dan mengomentari jalannya pertandingan dari babak pertama sampai wasit meniupkan peluit akhir, yang menarik bagi saya sebagai pecinta sepak bola ialah menunggu analisis dan komentar-komentar sang komentator, "mengapa Indonesia bisa kalah?", "Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timnas selalu tampil inkonsistensi?". Sedari kekalahan di Tiger cup 2002 sampai pertandingan timnas di tahun 2019-an, berbagai macam analisis dan komentar pengamat sepak bola yang terekam di memori saya ialah "bagaimana memperbaiki kualitas pembinaan usia dini, agar membetuk timnas yang tangguh dikemudian hari" atau "urgensi meggalakkan kompetisi di tingkat pelajar".

Artinya Indonesia dalam hal ini Pssi sebagai  induk terbesar di persepakbolaan Indonesia perlu memperhatikan atau menjalankan liga di level usia dibawah 15 tahun (U15) sampai usia dibawah 20 tahun (U20), tujuannya untuk membentuk Timnas yang tangguh dikemudian hari.

Analisis tersebut sungguh sangat tepat jika hal itu diutarakan pada medio dibawah tahun 2013, mengapa? karena di bawah tahun 2013 kita tidak melihat dan tidak mempunyai timnas yang tangguh di berbagai kelompok umur, ini salah satu yang mengkhawatirkan para pegamat sepakbola, bagaimana regenerasi akan berjalan dengan baik, jika kualitas pemain mudanya tidak baik. Namun, pada tahun 2013 Indra Sjafri menggegerkan seantero Nusantara dengan filosofis sepak bolanya, mengandalkan bola-bola pendek dari kaki ke kaki membuat penikmat sepakbola seakan-akan meyaksikan tiki-taka khas Barcelona. Melalui besutan Coach Indra Sjafri timnas U19 mampu juara di ajang AFF, kesuksesan Indra Sjafri membungkam banyak pihak yang ragu akan kualitas pemain-pemain muda Indonesia kala itu.

Walaupun kompetisi liga usia dini belum bisa dijalankan oleh Pssi pada waktu itu. Namun, banyak stakeholder sepakbola nasional yang peduli terhadap liga usia dini, contohnya; banyak liga tingkat pelajar yang diselenggarakan oleh pihak swasta, sebagai contoh liga Kompas Gramedia yang pada tahun 2019 telah memasuki musim ke-10, serta turnamen yang dijalankan oleh masing-masing sekolah sepak bola (SSB).

Contoh lainnya; lihat timnas Thailand di berbagai kelompok umur, mulai dari U16-U19 selalu kesulitan jika menghadapi sesama negara Asean, yang terbaru Thailand U19 tidak lolos ke putaran final Piala Asia U19 di Uzbekistan  2020, setelah di babak kualifikasi dipecundangi kamboja 2-1 dan dikalahkan malaysia dengan skor 1-0. Apakah pembinaan usia dini Thailand buruk?.  Tentu tidak.

Akhirnya tahun 2018, Pssi membentuk liga junior dengan rentang umur dibawah usia 16 tahun (U16), ini merupakan kompetisi liga usia dini yang pertama kali diadakan oleh Pssi dengan nama Elite pro academy, pesertnya berasal dari klub-klub liga 1 saat itu, artinya tiap klub liga 1 diwajibkan mempunyai tim junior di bawah usia 16 tahun (U16).

 Usia dibawah 16 tahun (U16) menjadi pijakan awal Pssi dalam memutar kompetisi usia dini. Tahun 2019 lebih berkembang, Pssi menggulirkan Elite pro academy U18, dan pada tahun yang sama PT Liga Indonesia Baru, selaku operator liga Indonesia menjalankan Elite Pro Academy U-20 pesertanyapun dari kontestan liga 1 2019.

Menurut kacamata saya, mengkambinghitamkan pembinaan usia dini sepertinya sudah tidak relevan dijadikan alasan tiap timnas Indonesia kalah di ajang apapun, artinya ketika sudah memasuki kelompok usia senior banyak faktor yang mempengaruhi naik dan turunnya kualitas timnas suatu negara. Contohnya, pengaturan jadwal liga yang baik (artinya yang sesuai dengan kalender Fifa), kualitas kompetisi, fisik pemain, persiapan tim, dll. Jadi mulai sekarang setop mengkambinghitamkan pembinaan usia dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun