Kalau Indeks Literasi Rendah, So What gitu loh!
Di atas sudah dinyatakan bahwa indeks literasi merujuk pada rendahnya minat membaca dibandingkan dengan melihat tayangan televisi, film atau media sosial lainnya. Walau sejatinya indeks literasi tidak melulu fokus diminat baca.
Dimensi lain yang juga berperan adalah akses terhadap bahan bacaan, seperti perpusatakaan, toko buku dan media lain. Lalu ada kecakapan, terkait kemampuan individu dalam membaca, menulis dan memahami teks.Â
Kemudian ada pilihan atau alternatif, ini terkait aktivitas membaca di luar buku sebagai bahan bacaan, seperti artikel online, blog atau media sosial lainnya. Juga tradisi budaya, terkait kebiasaan yang terjadi di keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitanya akan kegemaran membaca.
Artinya urusan literasi tak melulu pada soal membaca. Semua dimensi di atas saling terkait dan memberi pengaruh, berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik terhadap konsep literasi pada suatu bangsa.
Sebelum menjawab pertanyaan, "So What gitu loh?"Â ada baiknya kita pahami terlebih dahulu perbedaan signifikan antara buku sebagai bahan bacaan dan media sosial sebagai bagian dari media komunikasi. Mari kita diskusikan satu per satu.
Ditinjau dari aspek konten dan format. Konten di media sosial pada umumnya berkarakter singkat, padat, dan mudah dicerna. Tampil hanya beberapa detik saja dengan format isi pesan bervariasi. Sudah termasuk teks, gambar, video, dan audio.
Sementara, konteks buku lebih mendalam dan kompleks. Diperlukan konsentrasi dan waktu yang lebih lama untuk memahami isi bacaannya. Buku diformat dalam teks panjang dan terkadang disupport dengan kehadiran ilustrasi gambar, foto, atau grafik.
Ditinjau dari aspek interaksi dan keterlibatan. Media sosial memilki interaksi yang bersifat cepat dan instan. Respons berupa "like-suka; comment-komentar; ataupun share-berbagi" dapat terjadi hanya dalam hitungan detik. Kelemahannya adalah interaksi bersifat dangkal, respon spontan, tanpa rasa keterlibatan di dalamnya.