Dua ekor bebek sibuk dengan mandi paginya di pinggir sungai. Sesekali ia menyelam. Lalu timbul kembali sambil membersihkan bulu coklat kehijauannya. Seekor lainnya hanya diam memperhatikan pasangannya.Â
Mungkin gilirannya belum tiba. Coba nanti kita tanyakan pada rumput lebat didekatnya. Kami memperhatikan tingkah laku mereka. Sementara mereka acuh tak acuh atas kehadiran kami di sana.
Perahu terus berjalan. Beberapa rumah khas pedesaan Belanda menjadi objek jepretan Hp para peserta. Tak jauh darinya, sebuah jembatan melengkung harus kami lalui. Di Giethoorn tercatat ada 176 jembatan kayu yang dibuat penduduk untuk menghubungi jalur pejalan kaki mereka. Yang mempermudah mereka melintasi jalur sungai untuk terhubung dengan tetangga di seberangnya.
Pemandangan indah pedesaan Giethoorn di dominasi dengan berbagai type rumah pedesaan khas Belanda yang banyak kami temui sepanjang perjalanan. Dengan ciri hampir sama, yaitu beratap Jerami. Aroma khas pedesaan Giethoorn berupa aroma gambut dan pupuk kendang terkadang tercium. Memberi sentuhan indra penciuman dan atmosfir pedesaan tersendiri.
Walau disebut juga "Venice of the Netherlands" mengelilingi pedesaan Giethoorn tidaklah sama dengan mengelilingi kota di Venesia Italia. Di sana Perahu kayu yang disebut Gandolla di dayung oleh seseorang yang berbaju garis-garis dan pandai menyanyi dengan suaranya yang merdu. Yang dilihat adalah keindahan bangunan sebuah kota di atas pinggiran laut. Bangunan yang sudah berusia ratusan bahkan ada yang ribuan tahun.
Di Giethoorn, kita hanya melihat suasana pedesaan yang nyaman, sunyi, damai dengan bangunan khas pedesaan Belanda yang unik dan menarik Berada disana seakan kita keluar jauh dari kehidupan kota yang sibuk dengan kebisingannya. Lepas dari beban kerja dan tuntutan lainnya. Hanya kenyamanan yang dirasakan. Seakan hanya kedamaian yang menyelimuti kehidupan.
Nico, sang nahkoda kapal kayu kami berhenti di sebuah titik lokasi. Memberi kesempatan kami merasakan dan menikmati kehidupan sesuangguhnya di Giethoorn. Mengekploarsi beberapa titik sudut desa. Maka bertebaranlah kami semua menikmati kesempatan ini. Walau tak banyak yang kami eksplorasi, tapi setidaknya kami bisa merasakan bagaimana secercah kehidupan di desa cantik ini. Giethoorn.
Setelah puas yang terbatas, maka perahu kayu kami pun meluncur Kembali mengeksplorasi jalan-jalan sungai di pedasaan Giethoorn. Sebuah nama desa yang unik. Menurut cerita nama Giethoorn telah disematkan pada abad 13 lalu. Kala penduduk desa asli saat ini menemukan "Tanduk Kambing Liar" yang mati akibat banjir bandang pada 1170. Dalam Bahasa local "Tanduk Kambing" disebut dengan "Geytenhoren" maka kemudian kata ini disingkat menjadi "Giethoorn" dan menjadikannya nama bagi desa mereka. Â