Mohon tunggu...
Kusworo
Kusworo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penjelajah Bumi Allah Azza wa Jalla Yang Maha Luas Dan Indah

Pecinta Dan Penikmat Perjalanan Sambil Mentadaburi Alam Ciptaan Allah Swt

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

"Menaklukkan" Gunung Tursina-Mount Sinai di Usia Senja (Bagian Kedua)

23 Juni 2021   08:00 Diperbarui: 24 Juni 2021   02:30 1576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Letih, dan lelah...itu Pasti (Dok Pribadi)

“Menaklukan” Gunung Tursina (Mount Sinai) di usia senja

(Bagian kedua dari Catatan Perjalanan Napak Tilas Para Nabi)

Malam di ujung Fajar. Masih Gelap Gulita di atas gunung sana. Detak detik waktu baru menujuk pukul 03.35. Ada sedikit waswas.  Rombongan peziarah usia senja ini akan tiba di puncak lepas saat Fajar. 

Pemimpin rombongan menepis kekhawatirannya. Takut berpengaruh ganda menurunkan semangat mereka yang sudah mendekati puncak harapannya. Berada di tempat, dimana, Musa Kalamullah, berbicara pada Tuhannya

Apalagi saat seorang peserta berkata, “Ayoo kita taklukan Gunung Tursina”.  Peserta bertubuh tinggi langsing dengan banyak uban di rambutnya. Pemimpin rombongan sangat mengenalnya. Bukan hanya kenal tapi tahu benar karakternya.  Karena buka ini kali saja dia bersamanya.

Dipandangi wajahnya, sementara Beliau sibuk memberi semangat teman sependakian. Dahulunya pasti Beliau pemuda tampan. Dengan tubuh tinggi semampai dan senyum memukau. Lirikan matanya pasti aduhai. .  terngiang lagu A Rafiq “Lirikkan matamu menarik hati. Oh …senyumanmu manis sekali.  Sehingga membuat gadis-gadis terlena” Tapi itu mungkin dulu ? Sekarang?  Entahlah!  Apakah Beliau masih tetap mempesona seperti dulu?

“Kita akan memulai pendakian dengan berjalan kaki. Siapkan Senter. Tongkat dan hal lain yang dibutuhkan” . Pemimpin rombongan memberi instruksi. Singkat Padat tanpa basa basi. “Tidak ada yang boleh keluar dari rombongan. Saling support. Saling Dukung”. Mereka diam. Mendengarkan dan patuh. Beberapa Badui muda telah berkoordinasi dengan pemimpin rombongan untuk membantu. Tentunya dengan imbalan tertentu.

Upaya gigihnya berhasil. Dalam bahasa inggris sepotong-sepotong dan dominan bahasa Arab pasaran (Amiyah) Badui Gunung Tursina ini menyakini bahwa kehadirannya lebih banyak manfaat dari mudharat.  

Akhirnya… Senang hati ini melihatnya tersenyum. Malam yang dingin tanpa tertidur sepanjang malam hari ini, dibayar dengan sedikit rizki. Alhamdulillah!

Perlahan namun pasti tubuh-tubuh penuh energy ini keluar dari Basecamp. Membagi diri dengan para Badui. Untuk menyelesaikan misi. Gelap dan dingin sudah tak dihirau lagi.  Walau tidak semua peziarah memilih pendamping Badui, setidaknya sebagian telah berbagi rezeki.

Tanah berpasir dicampur bebatuan kecil menjadi awal pijakan langkah para peziarah berusia senja. Gurau dan canda ringan menjadikan aroma pendakian ini terasa bak harum bunga. 

Bagimana tidak!  Ini energy luar biasa bagi mereka. Seakan dengannya menjadi tenaga raksasa, karena mereka tidak pernah terbayang medan terjal dan curam serta pendakian yang kadang lebih dari 65 derajat persis di hadapan mata. Pemimpin rombongan hanya bisa berdoa, agar “Mission Impossible” ini bisa terlaksana.

Jalan masih datar. Tanpa bebatuan besar. Rombongan berjalan dengan tenang, seakan mudah diselesaikan. Sudah hampir lima belas menit kaki melangkah. “Ah…semua biasa saja”. Mungkin itu batin mereka. Masuk dimenit ke 25 terlihat sebuah ceruk besar memisahkan tanah datar dan bebatuan besar. Inilah pendakian sesungguhnya yang akan ditaklukan. Selamat berjuang para pejuang misi menaklukan Gunung Tursina (Mount Sinai)!!!

Bebatuan besar seolah membentuk rangkaian tangga panjang menuju setiap tahapan pendakian. Puncaknya ? Belum terlihat. Masih terlalu jauh untuk dibayangkan. Ini baru awalan. Senter dan tongkat yang terbentur bebatuan seakan membentuk orchestra cahaya di malam gelap.Di atas punggung Gunung Tursina. Indah, untuk ukuran mereka.

Desah napas usia senja mulai teras. Mulai dari desahan kecil, keluh tertahan atau batuk tak biasanya. Pemimpin rombongan mulai mengambil inisiatif. Dia sedikit berteriak untuk menjangkau mereka yang terlalu cepat berlalu. 

“Jangan bicara, jangan bercanda. Semua akan membuang tenaga ekstra. Dan yang terpenting, Jangan lepas dari rombongan”.  “Kita istirahat sebentar” lanjutnya setelah menit ke-15 berlalu Buatnya ini belum seberapa. Tapi bagi mereka, ini berat luar biasa.

Dihampiri satu persatu mereka. Ditanya apakah ada masalah?  Apakah ada yang menyerah? Semua diam. Tidak menjawab, karena desah napasnya seakan saling berlomba. Seorang badui muda yang berpengalaman karena kesehariannya, menggapit pemimpin rombongan. 

Dalam bahasa Arab Amiyah campur Inggis yang terbata-bata, ia menyampaikan argumennya. Dia menujuk sesorang. Ternyata Beliau adalah yang kita bicarakan saat awal pendakian di basecamp. “The Handsom Boy”  Dia Tak akan mampu menyelesaikan misinya! Terlalu berisiko untuknya!

Pemimpin rombongan menjumpainya. Ada rasa ida, kenapa ia tak bisa. Ini sudah separuh pencapaian misi penaklukan. Wajahnya sedikit pucat terlihat semburat diantara gelap dan cahaya senter. Sekali lagi ditanya.  Apakah ada masalah?  Apakah Bapak masih mampu melanjutkannya? 

Dia diam. Mengatur napas. Perlahan pemimpin rombongan memberi gambaran sesungguhnya medan berat di atas sana. Meyakinkan dirinya yang masih memiliki sedikit semangat, bahwa ini bukan menang atau kalah. Ini bukan Misi penaklukan sesungguhnya. Penaklukan Gunung Tursina hanya ada dihati ini sambil menunjuk dadanya yang masih turun naik.

Dengan kesadarannya, Beliau “Menyerah” bukan dalam arti sesungguhnya. Bagi Beliau, setengah perjalanan pendakian adalah sebuah “Prestasi”. Yang akan diserahkan kepada Istri tercinta yang menunggu jauh di bawah hotel sana. Tapi, baginya Penaklukan sesungguhnya sudah terjadi, saat mojang geulis jatuh hati dan siap mendampingi hidup hingga hari tuanya nanti.  Masya Allah!

Dengan diantar seorang Badui muda, Beliau diantar kembali ke Basecamp. Menikmati istirahat tertunda yang tidak seperti biasa dalam hidupnya. Istirahat ditemani para Onta dan penjaga basecamp yang siap menjaga. 

Rasanya, ini sebuah pengalaman yang semua orang belum tentu merasakannya. Juga oleh mereka yang sedang berada di atas sana.  Gelap masih menyelimuti gunung saat selimut kasar menyelimuti diri untuk menghalau dingin. Sejuta rasa pasti bergolak di dadanya. Ah..biarlah!  Dan Beliau pun tertidur dibelai lelah yang amat sangat.

Pendakian dimalam hari (Dok. Pribadi)
Pendakian dimalam hari (Dok. Pribadi)
Sekali lagi pemimpin rombongan melirik jam ditangannya. Waktu terus bergerak. Sudah Pukul 04.15. Naluri kepemimpinannya berbisik, “mereka pasti akan telat di atas puncak”. 

Dia berdiri dan memberi instruksi, “Kita lanjut…”. Mereka semuapun berdiri walau napas ini masih terasa berlari. “Ayo…semangat” Pekiknya. Sesaat bergema teriakan mereka, “Semangat!” Dia tersenyum, walau sedikit ragu. Biarlah semua proses berlalu.

Gelap masih menyelimuti tubuh gunung Tursina. Seakan berdiri angkuh, berkata pada pendaki diusia senja itu. “Cobalah…taklukan aku” Diujung atas sana. Lima puluh lima tombak dari jarak kami berdiri, terlihat orkestar lampu senter. 

Seakan menari, bergerak kesana kemari. Mendaki, menurun dan berputar mengikuti jalur. Mereka adalah rombongan peziarah asal India yang belum lama lalu di hadapan kami.  Itulah nanti jalur pendakian yang akan kami lalui.

“Terus berjalan dan terangi hanya jalan yang akan kita lalui, jangan menyoroti senter ke kiri atau ke kanan” Pemimpin rombongan memberi instruksi. Karena dia tahu pasti. Jurang dalam berwarna hitam saat malam itu menanti mereka yang lengah. 

Mereka patuh dan focus pada langkah di depannya. Mendaki naik, turun dengan kecuraman tertentu, sudah menjadi menu pendakian ini. Orkestra lampu senter rombongan kami semakin meriah dengan desah napas mereka yang berusia senja.

“Masih jauhkah..?” ini untuk kali sekiannya pemimpin rombongan mendengar pertanyaan itu setelah lima kali berhenti untuk beristirahat. Sudah ada tiga rombongan peziarah lain yang menyalip “Team Debutan Kami” menuju garis finish. 

Puncak Gunung Tursina (Mount Sinai). Mereka rombongan peziarah Jepang, Korea dan China.  Biarlah! Yang terpenting rombongan peziarah ini tetap menyelesaikan misi.

Letih, dan lelah...itu Pasti (Dok Pribadi)
Letih, dan lelah...itu Pasti (Dok Pribadi)
Di antara semua kekhawatiran yang ada pada pemimpin rombongan peziaran usia senja ini adalah keikutsertaan seorang ibu yang tahun ini berusia 77 tahun. Kekhawatiran yang menuntutnya memberi perhatian ekstra ketat. Beliau belum sehat betul saat niat itu terungkap.

Dikota sebelumnya, Tiberias,  Beliau sakit dan mengalami masalah dengan buang air besar. Ini serius, akibatnya akan banyak berdampak ke kesehatan tubuh. Tubuhnya lemas dan lesu hingga harus tinggal di hotel dan tidak ikut dalam kegiatan beberapa kunjungan.  Syukurnya semua bisa berlalu, walau tubuhnya tidak seperti awal dulu. Masih lemas dan lesu.

Malam masih 3 jam sebelum waktu berangkat, beliau berkata “Mas…, saya mohon izin ikut menaklukan Gunung Tursina” Ini ungkapan santun yang tetap saja membuat pemimpin rombongan terperangah. “Maaf…Ibu sudah sehat dan sudah mendapat izin dari Bapak?” tanyanya masih sedikit tak percaya. “Sudah Mas…bahkan saya minta izin 3 kali dan Bapak memberi izin”

Setengah ragu, pemimpin rombongan  menemui suami sang ibu. Terlihat kegundahan di wajahnya. Gelisah! Ekspresinya juga tak mampu menghilangkan rasa ragu. Mungkin sebelumnya terjadi adu argumen seru. 

Tapi terlihat bahwa Beliau tahu persis bagaimana karakter istri yang telah sangat setia menjadi pendamping hidupnya itu. Beliau tahu persis istrinya belum sehat betul. Tapi beliau tahu persis apa yang akan terjadi bila tekad baik sang istri tidak direalisasi. Apalagi perjalanan dengan rute sama belum tentu diulangnya sekali lagi. Masih banyak rute perjalanan lain yang menunggu.

Mantab dengan keputusan sang Ibu dengan izin yang telah diberikan Suami maka, pemimpin rombongan memberi arahan khusus untuk Beliau. Dalam perjalanan menuju kamarnya dia harus berpikir untuk menjadikan permintaan ini sebagai tantangan bukan beban yang memberatkan. Itulah mental pemimpin.

Karenanya, saat program pendakian dimulai lepas dari Basecamp, pemimpin rombongan menempatkan pendamping khusus. Satu-satunya anak muda dirombongan ini. Anak peserta yang berangkat menemani sang Ayah. 

Anak muda yang luar biasa. Baik budi, ramah dan sangat suka menolong semua peserta yang berusia senja. Dia yang menjadi andalan. Sedikit instruksi diberikan. Dia paham dan dengan senang hati menerima tugas serta menyakinkan bahwa dia dapat diandalkan. Sang Pemimpin rombongan pun tersenyum, bersyukur, bahwa benar nyatanya bahwa dia memang dapat diandalkan diperjalanan.

Seberkas cayaha mulai meluncur disela-sela perbukitan Gunung Tursina (Mount Sinai). Seperti panah Arjuna menembus pasukan Kurawa. Belum hangat. Masih seperti hangatnya telur angsa yang keluar sebelum waktunya. Pemimpin rombongan melirik jam di tangannya. Masya Allah! Sudah pukul Lima. Walau gelap mulai tersingkap, diputuskan terus mendaki. Menyelesaikan misi.

“Kapan sampainya nih Mas ?” pertanyaan berbeda dengan makna sama terdengar lagi. Entah untuk berapa kian kali.  Mereka sudah letih. Namun puncak Gunung Tursina belum juga diraih. Dengan penuh semangat pemimpin rombongan terus memberi motivasi. 

Memacu niat dan tekat yang nyaris tersapu bersih. In syaa Allah sebentar lagi kita akan sampai. Tinggal beberapa lemparan batu saja, kita akan tiba. Mereka tersenyum. Setengah percaya, setengah tidak. Karena sejatinya mereka pun tahu. Pemimpin rombongannya hanya ingin terus memacu semangat juang mereka.

Hari semakin terang. Semburat hitam malam terakhir kami rasakan seratus langkah dibawah sana. Prediksi pemimpin rombongan itu nyata. Mereka telat tiba di puncak Gunung Tursina. Tapi Biarlah! Toh, akhirnya akan tercapai juga. Diputuskan untuk berhenti melakukan sholat subuh. Karena hari semakin terang. Diputuskan demikian karena apa yang ada disekitarnya jelas terlihat meminimalisasi risiko sholat subuh saat gelap. Yang kita tidak tahu, akan ada bahaya apa yang ada di sekitar kita.

Mereka pun menyebar sesuai selera. Kondisi medan tak memungkin rombongan sholat subuh berjamaah. Dengan air yang dibawa mereka berwudhu sempurna. Khusuk menghadap Sang Kuasa dalam Posisi duduknya. Karena tidak ada medan yang rata. Di tempat tinggi bebatuan  dimana jejek sang Nabi Allah pernah melangkah di atasnya.

Hening…sunyi…mereka larut dalam dialog dengan Sang Khaliq. Mengungkap rasa syukur, memohon ampunan, bermunajat sekehendak hati dan memohon untuk diberi kekuatan.. Mencoba menghadirkan Illahi di hadapannya, seperti Musa sang Nabi. Dibiarkan mereka larut dalam kemesraan bersama Tuhannya. Dibelai dalam keheningan pagi oleh Rahman dan Rahim Illahi. Hampir semua menangis. Haru biru jadi satu.

Khusuk dalam sholat Subuh (Dok Pribadi)
Khusuk dalam sholat Subuh (Dok Pribadi)
Seperti ada energy baru saat sholat subuh usai berlalu. Mereka terlihat ceria, penuh semangat dan tak  terlihat lelah di wajah. Seakan mereka semua berteriak “Mount Sinai….Here we Come”  Pemimpin rombongan tersenyum. Ini semangat yang dia tunggu. Semangat menaklukan Gunung Tursina yang sudah menunggu.

“Ayo…kita selesaikan misi ini. Kita taklukan Gunung Tursina dengan hati. Karena kita ke sini hanya untuk sebuah misi, Menapaktilasi Jejak Para Nabi”  Langkah semangat mulai berderap. Naik…turun diantara bebatuan curam. Senter sudah kami padamkan karena hari sudah terang. Tiga puluh menit dari tempat kami beranjak. Tiba lah kami dipuncak. Seakan Gunung Tursina tersenyum ramah menyambut mereka. Pejuang misi menaklukan dirinya dengan misi murni.

Dan Misi pun selesai sudah....(Dok Pribadi)
Dan Misi pun selesai sudah....(Dok Pribadi)
Namun semangat tetaplah sesuatu yang lahir dalam tubuh. Dan tubuh itu sendiri harus patuh dengan hukum alam. Mereka telah berusia senja. Pasti lelah. Karena pendakian terakhir memang sangat melelahkan. Semua menanjak. Dan sebagian mereka sedikit “menyerah” dipendakian terakhir mencapai puncak. 

Sedikit curam, walau hanya sejarak tujuh puluh lima tombak. Mereka berhenti. Mengatur napas agar bisa tancap gas.  Namun mereka yang lebih sedikit muda sudah lupa akan perintah…mereka langsung tancap gas sampai ke puncak. Meraih kemenangan yang sudah di depan mata.

Hari itu Puncak Tertinggi Gunung Tursina (Mount Sinai); titik dimana Nabi Allah Musa Kalamullah berdiri; berdialog dengan Tuhannya untuk melaksanan perintah; mengajak sang Durjana dan umat ke fitrahnya; telah menjadi saksi bisu 17 pendaki berusia senja ini telah menaklukannya. Menaklukkannya dengan hati. 

Semua bersujud. Saling memberi selamat dan berpelukan haru. Wajah-wajah senja itu terlihat bak gadis belia yang sedang mekar-mekarnya. Karena semua hadir dari hati yang bersih yang tanpanya tak mungkin misi ini bisa terjadi.

foto-6-60d180d937f4b930bb7dc4a2.jpg
foto-6-60d180d937f4b930bb7dc4a2.jpg
Mushola kecil disebelah kanan dan kapel (Chapel) kecil disebelah kiri puncak Gunung Tursina seakan tersenyum melihat kehadiran mereka pecinta para Nabi agama Samawi. Pagi tampak semakin cerah. Alam dengan suka ria menggelar orchestra keindahan Sang Pencipta. Merekapun terperangah. Menyaksikan setitik keindahan lukisan dunia. Jauh dari atas puncak sana. Hanya ada satu kata yang terucap “ Fabi-ayyi aalaaa-i robbikumaa tukazzibaan – maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

(Bersambung ke artikel selanjutnya…)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun