Hening…sunyi…mereka larut dalam dialog dengan Sang Khaliq. Mengungkap rasa syukur, memohon ampunan, bermunajat sekehendak hati dan memohon untuk diberi kekuatan.. Mencoba menghadirkan Illahi di hadapannya, seperti Musa sang Nabi. Dibiarkan mereka larut dalam kemesraan bersama Tuhannya. Dibelai dalam keheningan pagi oleh Rahman dan Rahim Illahi. Hampir semua menangis. Haru biru jadi satu.
“Ayo…kita selesaikan misi ini. Kita taklukan Gunung Tursina dengan hati. Karena kita ke sini hanya untuk sebuah misi, Menapaktilasi Jejak Para Nabi” Langkah semangat mulai berderap. Naik…turun diantara bebatuan curam. Senter sudah kami padamkan karena hari sudah terang. Tiga puluh menit dari tempat kami beranjak. Tiba lah kami dipuncak. Seakan Gunung Tursina tersenyum ramah menyambut mereka. Pejuang misi menaklukan dirinya dengan misi murni.
Sedikit curam, walau hanya sejarak tujuh puluh lima tombak. Mereka berhenti. Mengatur napas agar bisa tancap gas. Namun mereka yang lebih sedikit muda sudah lupa akan perintah…mereka langsung tancap gas sampai ke puncak. Meraih kemenangan yang sudah di depan mata.
Hari itu Puncak Tertinggi Gunung Tursina (Mount Sinai); titik dimana Nabi Allah Musa Kalamullah berdiri; berdialog dengan Tuhannya untuk melaksanan perintah; mengajak sang Durjana dan umat ke fitrahnya; telah menjadi saksi bisu 17 pendaki berusia senja ini telah menaklukannya. Menaklukkannya dengan hati.
Semua bersujud. Saling memberi selamat dan berpelukan haru. Wajah-wajah senja itu terlihat bak gadis belia yang sedang mekar-mekarnya. Karena semua hadir dari hati yang bersih yang tanpanya tak mungkin misi ini bisa terjadi.
(Bersambung ke artikel selanjutnya…)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H