Malam masih 3 jam sebelum waktu berangkat, beliau berkata “Mas…, saya mohon izin ikut menaklukan Gunung Tursina” Ini ungkapan santun yang tetap saja membuat pemimpin rombongan terperangah. “Maaf…Ibu sudah sehat dan sudah mendapat izin dari Bapak?” tanyanya masih sedikit tak percaya. “Sudah Mas…bahkan saya minta izin 3 kali dan Bapak memberi izin”
Setengah ragu, pemimpin rombongan menemui suami sang ibu. Terlihat kegundahan di wajahnya. Gelisah! Ekspresinya juga tak mampu menghilangkan rasa ragu. Mungkin sebelumnya terjadi adu argumen seru.
Tapi terlihat bahwa Beliau tahu persis bagaimana karakter istri yang telah sangat setia menjadi pendamping hidupnya itu. Beliau tahu persis istrinya belum sehat betul. Tapi beliau tahu persis apa yang akan terjadi bila tekad baik sang istri tidak direalisasi. Apalagi perjalanan dengan rute sama belum tentu diulangnya sekali lagi. Masih banyak rute perjalanan lain yang menunggu.
Mantab dengan keputusan sang Ibu dengan izin yang telah diberikan Suami maka, pemimpin rombongan memberi arahan khusus untuk Beliau. Dalam perjalanan menuju kamarnya dia harus berpikir untuk menjadikan permintaan ini sebagai tantangan bukan beban yang memberatkan. Itulah mental pemimpin.
Karenanya, saat program pendakian dimulai lepas dari Basecamp, pemimpin rombongan menempatkan pendamping khusus. Satu-satunya anak muda dirombongan ini. Anak peserta yang berangkat menemani sang Ayah.
Anak muda yang luar biasa. Baik budi, ramah dan sangat suka menolong semua peserta yang berusia senja. Dia yang menjadi andalan. Sedikit instruksi diberikan. Dia paham dan dengan senang hati menerima tugas serta menyakinkan bahwa dia dapat diandalkan. Sang Pemimpin rombongan pun tersenyum, bersyukur, bahwa benar nyatanya bahwa dia memang dapat diandalkan diperjalanan.
Seberkas cayaha mulai meluncur disela-sela perbukitan Gunung Tursina (Mount Sinai). Seperti panah Arjuna menembus pasukan Kurawa. Belum hangat. Masih seperti hangatnya telur angsa yang keluar sebelum waktunya. Pemimpin rombongan melirik jam di tangannya. Masya Allah! Sudah pukul Lima. Walau gelap mulai tersingkap, diputuskan terus mendaki. Menyelesaikan misi.
“Kapan sampainya nih Mas ?” pertanyaan berbeda dengan makna sama terdengar lagi. Entah untuk berapa kian kali. Mereka sudah letih. Namun puncak Gunung Tursina belum juga diraih. Dengan penuh semangat pemimpin rombongan terus memberi motivasi.
Memacu niat dan tekat yang nyaris tersapu bersih. In syaa Allah sebentar lagi kita akan sampai. Tinggal beberapa lemparan batu saja, kita akan tiba. Mereka tersenyum. Setengah percaya, setengah tidak. Karena sejatinya mereka pun tahu. Pemimpin rombongannya hanya ingin terus memacu semangat juang mereka.
Hari semakin terang. Semburat hitam malam terakhir kami rasakan seratus langkah dibawah sana. Prediksi pemimpin rombongan itu nyata. Mereka telat tiba di puncak Gunung Tursina. Tapi Biarlah! Toh, akhirnya akan tercapai juga. Diputuskan untuk berhenti melakukan sholat subuh. Karena hari semakin terang. Diputuskan demikian karena apa yang ada disekitarnya jelas terlihat meminimalisasi risiko sholat subuh saat gelap. Yang kita tidak tahu, akan ada bahaya apa yang ada di sekitar kita.
Mereka pun menyebar sesuai selera. Kondisi medan tak memungkin rombongan sholat subuh berjamaah. Dengan air yang dibawa mereka berwudhu sempurna. Khusuk menghadap Sang Kuasa dalam Posisi duduknya. Karena tidak ada medan yang rata. Di tempat tinggi bebatuan dimana jejek sang Nabi Allah pernah melangkah di atasnya.