“Menaklukan” Gunung Tursina (Mount Sinai) di usia senja
(Bagian kedua dari Catatan Perjalanan Napak Tilas Para Nabi)
Malam di ujung Fajar. Masih Gelap Gulita di atas gunung sana. Detak detik waktu baru menujuk pukul 03.35. Ada sedikit waswas. Rombongan peziarah usia senja ini akan tiba di puncak lepas saat Fajar.
Pemimpin rombongan menepis kekhawatirannya. Takut berpengaruh ganda menurunkan semangat mereka yang sudah mendekati puncak harapannya. Berada di tempat, dimana, Musa Kalamullah, berbicara pada Tuhannya
Apalagi saat seorang peserta berkata, “Ayoo kita taklukan Gunung Tursina”. Peserta bertubuh tinggi langsing dengan banyak uban di rambutnya. Pemimpin rombongan sangat mengenalnya. Bukan hanya kenal tapi tahu benar karakternya. Karena buka ini kali saja dia bersamanya.
Dipandangi wajahnya, sementara Beliau sibuk memberi semangat teman sependakian. Dahulunya pasti Beliau pemuda tampan. Dengan tubuh tinggi semampai dan senyum memukau. Lirikan matanya pasti aduhai. . terngiang lagu A Rafiq “Lirikkan matamu menarik hati. Oh …senyumanmu manis sekali. Sehingga membuat gadis-gadis terlena” Tapi itu mungkin dulu ? Sekarang? Entahlah! Apakah Beliau masih tetap mempesona seperti dulu?
“Kita akan memulai pendakian dengan berjalan kaki. Siapkan Senter. Tongkat dan hal lain yang dibutuhkan” . Pemimpin rombongan memberi instruksi. Singkat Padat tanpa basa basi. “Tidak ada yang boleh keluar dari rombongan. Saling support. Saling Dukung”. Mereka diam. Mendengarkan dan patuh. Beberapa Badui muda telah berkoordinasi dengan pemimpin rombongan untuk membantu. Tentunya dengan imbalan tertentu.
Upaya gigihnya berhasil. Dalam bahasa inggris sepotong-sepotong dan dominan bahasa Arab pasaran (Amiyah) Badui Gunung Tursina ini menyakini bahwa kehadirannya lebih banyak manfaat dari mudharat.
Akhirnya… Senang hati ini melihatnya tersenyum. Malam yang dingin tanpa tertidur sepanjang malam hari ini, dibayar dengan sedikit rizki. Alhamdulillah!
Perlahan namun pasti tubuh-tubuh penuh energy ini keluar dari Basecamp. Membagi diri dengan para Badui. Untuk menyelesaikan misi. Gelap dan dingin sudah tak dihirau lagi. Walau tidak semua peziarah memilih pendamping Badui, setidaknya sebagian telah berbagi rezeki.
Tanah berpasir dicampur bebatuan kecil menjadi awal pijakan langkah para peziarah berusia senja. Gurau dan canda ringan menjadikan aroma pendakian ini terasa bak harum bunga.