Karenanya, peziarah sudah dapat arahan membawa sesuatu yang lembut untuk mengurangi benturan kayu tersebut, bisa berupa bantalan kain, bantal kecil khusus yang sudah disiapkan dari rumah atau benda lain yang membuat nyaman.
Gelap pekat malam tidak mampu membuat peziarah mengidentifikasi ontanya, siapa teman yang naik onta di depan atau di belakangnya. Dimana posisi Tour Leader yang menjadi rujukan pendakiannya.
Semua samar dalam gelap. Walau membekali diri dengan senter, tapi sudah diwanti-wanti untuk tidak dgunakan.
Cahaya sinar sentar akan membuat penglihatan onta kabur saat melangkah mendaki jalan terjal pendakian. Ini berbahaya. Semua taat. Tak ada seberkas sinar pun keluar dari senter mereka.
Saat pendakian dimulai. Ada 5 atau 6 onta berjalan beriringan dipandu satu Badui Sinai yang piawai berkomunikasi dengan siulan khas mereka kepada onta. “Komunikasi” yang sudah terjalin secara unik.
Setiap onta “mengerti” makna siulan bahkan desah si Badui. Seakan tahu, kapan harus mulai berjalan, kapan harus berhenti, kapan harus duduk atau berdiri.
Dalam kesendirian di atas onta, saat malam gelap nan hening, peziarah akan sibuk dengan diri sendiri. Takut, resah dan gelisah. Seakan tanpa kawan dan teman sependakian.
Sementara onta terus melangkah, sesekali terdengar siul atau desah Badui memberi perintah kepada rombongan onta yang bergerak membawa peziarah.
Gelap malam membuat mata menatap langit sebagai pilihan. Subhanallah! Langit terlihat indah dengan bertabur bintang. Kecil namun cukup terang tapi tak mampu membuat benerang alam kelam. Teringat lagu “ku petik bintang dan akan ku bawa pulang”. Seakan dekat, seakan mudah dipegang.