Secara lengkap pada UU No. 23 tahun 2007 pada BAB VII tentang : “Perpotongan dan Persinggungan jalur kereta api dengan bangunan lain”. Memuat sejumlah pasal meliputi :
- Pasal 91 ayat 1 perpotongan antara jalur kereta api dan jalan di buat tidak sebidang
- Pasal 91 Ayat 2 pengecualian terhadap kententuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalulintas jalan.
- Pasal 92 ayat 1 pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 ayat 2 harus dilaksanakan dengan ketentuan untuk kepentingan umum dan tidak membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
- Pasal 92 ayat 2 pembangunan sebagaimana dimaksud pasal 1 wajib mendapat ijin dari pemilik prasarana perkeretaapian
- Pasal 92 ayat 3 pembangunan, pengoprasian, perawatan, dan keselamatan perpotongan antara jalur kereta api dan jalan menjadi tanggung jawab pemegang izin.
- Pasal 93 ayat 1 pemanfaatan tanah pada ruang milik jalur kereta api untuk perpotongan antara jalur kereta apu dan jalan menjadi tanggung jawab pemegang izin.
- Pasal 94 ayat 1 untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak memiliki ijin harus di tutup
- Pasal 94 ayat 2 penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh pemerintah atau pemerintash daerah
- Pasal 95 ketentuan lebih lanjut mengenai perpotongan dan persinggungan jalur kereta api dengan bangunan lain diatur dengan peraturan pemerintah
Pada pasal pasal diatas jelas tertulis bahwa yang bertanggung jawab atas perlintasan adalah pihak yang memegang izin pembuatan perlintasan tersebut (pasal 92 ayat 3, pasal 93 ayat 1) , setelah mendapat izin dari pemilik prasarana perkeretaapian dalam hal ini adalah pemerintah (pasal 92 ayat 2).
Kecelakaan bagaimanapun bentuknya adalah suat hal yang tidak diharapkan terjadi, namun jika kecelakaan tersebut terjadi tentunya perlu dilakukan penanganan yang sebaik-baiknya agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan yang berakibat pada kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Tertabraknya kereta api oleh kendaraan bermotor tentunya bukan merupakan kesalahan dari operator kereta api atau petugas yang menjaga perlintasan tersebut, jelas telah ditegaskan bahwa pintu perlintasan bukanlah dibuat untuk melindungi pengguna jalan namun digunakan untuk memastikan kemanan perjalanan kereta api.
Terjadinya kecelakaan ;a;i ;intas diperlintasan KA seharusnya membawa petugas penjaga pintu perlintasan kedalam pelanggaran yang bersifat internal jika terbukti melakukan kesalahan dalam melaksanakan SOP pekerjaannya.
Maka bagi petugas yang bersangkutan dimungkinkan dijerat dengan pasal pasal pelanggaran terkait dengan kerusakan pada sarana dan prasarana kereta api dan diberikan sanksi yang bersifat internal di PT.Kereta Api (Persero).
Selama ini aparat kepolisian cenderung untuk menjerat petugas penjaga pintu perlintasan, PPKA dan masinis dengan pasal 359 dan pasal 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dengan tudingan melakukah kelalaian yang mengakibatkan orang lain luka berat atau meninggal dunia.
Jika kita mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, pada Pasal 64 tertulis : Pada persilangan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan, pengemudi harus:
a. mendahulukan kereta api;
Maka dapat ditegaskan bahwa seharusnya bagi masinis dan PJL secara otomatis terbebas dari tuntutan hukum pada kasus kecelakaan KA di perlintasan yang melibatkan pengguna jalan. Karena, dapat dipastikan bahwa kecelakaan itu diawali oleh pelanggaran yang dilakukan pengguna jalan.
Hingga saat ini jarang sekali kita mendengar pihak yang menerobos pintu perlintasan mau dan dikenakan tuntutan hukum terkait dengan pelanggarannya tersebut padahal pada Undang Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).