Kecelakaan dipintu perlintasan kereta api adalah merupakan cerita lama yang masih kerap terjadi di negeri ini.. Peristiwa terlanggarnya kereta api oleh kendaraan bermotor di perlintasan bukan sekali atau duakali terjadi, namun sudah berulangkali terjadi dan telah memakan korban jiwa yang tidak sedikit.
Dalam peristiwa seperti itu , sering sekali pihak korban langsung menjadikan PT.KAI sebagai pihak yang bersalah dan pada perlintasan berpalang pintu tak jarang petugas yang bertugas di perlintasan tersebut dijadikan “bulan bulanan” keluarga korban dan kemudian dijadikan tersangka pada kecelakaan tersebut.
Keberadaan sejumlah perlintasan baik yang berpalang pintu ataupun yang tidak, serta baik perlintasan kereta api yang resmi ataupun tidak, seharusnya melepaskan pihak operator dan petugas pintu perlintasan dari jerat hukum melalui KUHP, hal tersebut tentunya didasari dengan UU yang menyatakan bahwa fungsi palang pintu bukan untuk mengamankan kendaraan, tapi hanya sebagai alat untuk mengamankan kereta api. Dalam perlintasan tersebut juga sudah terdapat rambu-rambu agar para pengendara berhati – hati.
Dengan berbagai kekhususan yang dimiliki oleh kereta api sudah sewajarnya jika kemudian perjalanan kereta api menjadi prioritas pada sejumlah jalan kereta api yang bersilangan dengan jalan raya, apalagi pada umumnya jalan kereta api dibangun jauh lebih dulu jika dibandingkan dengan jalan umum yang melintasi jalan kereta tersebut.
UU No 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian pada Pasal 90 Ayat d jelas jelas juga mencantumkan bahwa penyelenggara prasarana perkeretaapian berhak dan berwenang mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan raya. Jelasnya, kereta api harus diprioritaskan lewat perlintasan.
Bahkan jika kita merunut lebih jauh dengan mengacu pada pasal 64 dan 65 pada PP 43/1993 tentang Prasarana dan Lalulintas Jalan, tersebut telah ditegaskan bahwa setiap pengemudi atau pemakai jalan harus/wajib mendahulukan kereta api. bahkan dari delapan prioritas jenis kendaraan, kereta api sendiri menempati urutan pertama dalam urutan/hirarki prioritas kendaraan yang harus didahulukan oleh pengguna jalan kemudian secara berurutan adalah kendaraan pemadam kebakaran yang tengah bertugas, Ambulans yang tengah mengangkut orang sakit , kendaraan penolong kecelakaan lalu lintas , kendaraan Kepala Negara atau Tamu Negara, iring-iringan jenazah, konvoi, pawai, atau kendaraan orang cacat, dan terakhir adalah kendaraan pengangkut barang khusus.
Kesalahan dalam Pemikiran .
Kecelakaan di perlintasan seharusnya dapat di pahami bukan sebagai kecelakaan kereta api namun merupakan kecelakaan lalulintas, karena kereta api berjalan di atas jalurnya sendiri yang secara kebetulan dipotong oleh jalur lalulintas kendaraan umum.
Keberadaan pintu perlintasan yang selama ini dianggap sebagai tanggung jawab PT.KAI sebenarnya harus diluruskan , karena pintu perlintasan sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari pihak pemegang izin pembangunan perlintasan tersebut seperti tercantum pada Pasal 92 ayat 3 UU No.23 tahun 2007 yang tertulis : pembangunan, pengoprasian, perawatan, dan keselamatan perpotongan antara jalur kereta api dan jalan menjadi tanggung jawab pemegang izin.
Sementara itu seperti tercantum pada Pasal 94 ayat 1 tertulis : untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak memiliki ijin harus di tutup dan Pasal 94 ayat 2 UU No.23 tahun 2007 yang berbunyi : Penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Demikian juga dengan Perlintasan baik sebidang ataupun tidak, resmi ataupun tidak , bukanlah merupakan tanggung jawab PT.KAI.