Mohon tunggu...
Ar Kus
Ar Kus Mohon Tunggu... karyawan swasta -

senang berpikir apa adanya dan adanya apa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ada Dua Macam Kebenaran

25 Desember 2012   23:51 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 6766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika ada yang bertanya, kota New York itu berada di timur Jakarta atau di barat Jakarta? Jawabannya mungkin beragam, ada yang bilang ‘barat’ dan ada pula ada yang jawab ‘timur’. Jawaban keduanya punya alasan masing-masing. Misalnya, coba saja Anda terbang ke arah timur pasti akan tiba di kota New York? Tapi, bukankah begitu pula jika kita terbang mengelilingi bumi ke arah ke barat?

Contoh lain, poligami di dunia barat dianggap tak bermoral, tapi dalam budaya Indonesia dianggap biasa saja. Di Jepang nyerobot antrian dianggap tak bermoral, dalam budaya Indonesia hal tersebut masih dianggap biasa. Di pedalaman papua, orang berjalan di depan umum hanya pakai koteka adalah hal yang biasa, tapi jangan lakukan hal itu di jalanan kota Bandung, sebab kau akan dianggap gila.

Jadi, mana yang benar?

Nah, banyak orang berdebat tentang kebenaran. Masing-masing mengklaim diri sebagai yang paling benar. Aneka argumen dan alasan dimuntahkan. Bahkan, ada yang sampai berakhir dengan caci maki dan kekerasan fisik. Saya sendiri hanya mengenal dua kebenaran dalam hidup ini, yaitu kebenaran subjektif dan kebenaran objektif.

Kebenaran Subjektif

Kebenaran subjektif adalah kebenaran yang melibatkan persepsi pengamatnya, sering pula disebut kebenaran relatif. Seorang aktivis posmo yang bernama Michael Fackerell pernah mengucapkan suatu slogan yang berbunyi “All is relative” (Semua adalah relatif). Ya, semuanya adalah relative. Benar bagi anda belum tentu benar bagi yang lainnya, tidak ada kebenaran yang benar-benar mutlak.

Bahkan, Einstein pernah mengemukakan suatu teori yang disebut teori relativitas. Secara sederhana teori ini menyebutkan bahwa kecepatan/laju suatu benda amat tergantung pada keadaan si pengamat atau benda lain yang menjadi pembandingnya. Kecepatan tank T-72 yang dikendarai tentara Garda Republik saat perang Irak akan mempunyai angka yang berbeda jika dilihat dari helikopter Apache yang terbang diam di dekatnya dan jika dilihat dari pesawat tempur F-16 yang sedang memburunya.

Amrozi Cs ngebom sana-sini, ratusan orang tewas, ratusan orang pula kehilangan orang-orang tersayangnya. Apa yang ia katakan “saya melakukan ini karena saya yakin hal ini benar”. Cuiiihh…lihat…orang gila yang kini di neraka itu mengatakan bahwa dirinya melakukan sesuatu yang benar. Ya….kebenaran memang subjektif, relatif, tergantung pada persepsinya masing-masing.

Tidak ada yang betul-betul salah atau benar mengenai apapun. Apa yang mungkin “benar bagi Anda” tidak berarti “benar bagi saya.”

Kebenaran Objektif

Kebenaran objektif adalah kebenaran apa adanya tanpa melibatkan persepsi pengamatnya. Kebenaran ini melibatkan persesuaian antara apa yang diketahui dengan fakta sebenarnya. Umpamanya, binatang kaki seribu memiliki kaki 1000. Setelah diteliti ternyata binatang kaki seribu hanya memiliki 666 kaki, karena pengetahuan tidak sesuai dengan obyek maka pernyataan dianggap keliru. Namun saat dinyatakan binatang kaki seribu memiliki kaki 666, maka pernyataan dianggap benar.

Menurut ilmu fisika, kecepatan cahaya di ruang hampa akan selalu sama dari sudut manapun seorang pengamat melihatnya. Kecepatan cahaya tidak pernah relatif dan selalu terhadap pengamat. Kecepatan cahaya selalu benar dari sudut mana pun seorang pengamat melihatnya. Begitu pula dengan hukum-hukum fisika lainnya, ia berlaku sama di manapun dan kapanpun di alam semesta ini dan tidak bergantung pada persepsi pengamatnya. Ini adalah contoh kebenaran objektif.

Matematika dan sains mendekati kebenaran objektif, maka orang sering menyebutnya dengan ilmu pasti. Saya katakan mendekati, karena terkadang unsur subjektivitas tetap ada. Misalnya, bila ditanyakan berapa 2 ditambah 2 pasti spontan dijawab 4, namun justru ada beberapa jenis soal yang sebaiknya 2 ditambah 2 tidak dijawab 4 namun hasil mutlak dari akar 16. Hal ini ditujukan supaya soal dapat dikerjakan dengan efisien.

Berikut ini adalah contoh lain yang tidak serius, misal: bagi tukang cuci-cetak foto lain lagi. Jika ditanya 2 x 3 berapa hasilnya? Jawabnya ada yang mengatakan Rp 500, Rp 1.000, Rp 2.000. Padahal, dalam ilmu pasti hasil perkalian 2 x 3 sama dengan 6. Di beberapa swalayan bahkan jika Rp 10.000 uang yang kita miliki dibelikan Rp 9.500 untuk harga sebungkus roti bagelen hasilnya bisa berupa sebungkus roti bagelen dan 3 buah permen. Padahal yang benar adalah si pembeli mendapat sebungkus roti bagelen dan uang kembalian Rp 500. Objektif yang menjadi subjektif bukan?

Jadi, suatu objek dapat didekati secara subjektif, bahkan di ranah kebenaran objektif sekalipun. Begitulah, semua objek bisa dipersepsi secara berbeda. Objeknya sama, tetapi persepsinya yang berbeda. Dulu matahari dianggap mengelilingi bumi, tetapi kemudian ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa bumi-lah yang mengelilingi matahari. Objeknya sama, faktanya sama, tidak berubah, dan itu-itu saja, hanya persepsinya yang berubah.

Kalau begitu relativitas bisa menimbulkan kekacauan atau ketidakpastian, karena masing-masing orang sangat mungkin memiliki persepsi atau pemahaman yang berbeda, misalnya dalam norma-norma sosial?

Betul.

Lalu, apa yang kita perlukan dalam ketidakpastian ini?

Jawabnya: menetapkan konsensus bersama.

Ya acuan. Jika kita berpegang pada acuan yang telah menjadi kesepakatan bersama, saya pastikan tidak akan terjadi kekacauan. Konsensus dalam bernegara adalah undang-undang, atau dalam tingkat internasional ada Piagam HAM atau perjanjian antarnegara, itulah yang harus jadi acuan. Sepanjang Anda tidak melanggar undang-undang yang telah ditetapkan, seharusnya setiap tindakan Anda tak perlu dipermasalahkan.

Misal, perkara seks pranikah banyak pendapat yang pro dan kontra. Ya ….kita kembalikan saja pada acuan yang telah disepakati bersama, yaitu undang-undang. Adakah KUHP mengatur hal ini? Adakah KUHP menyebutnya sebagai pelanggaran hukum? Tidak ada. Selesai toh.

Instrumen undang–undang dibuat untuk menyamakan persepsi masyarakat agar mendekati hanya satu persepsi saja. Tapi, harus diingat pula bahwa yang membuat undang-undang adalah manusia juga yang memiliki subjektivitas, sehingga sangat mungkin suatu undang-undang dibuat dalam kondisi subjektif sehingga terkadang menjadi bias dan multiinterpretasi. Tetapi, minimal kita telah memiliki acuan yang telah disepakati bersama.

Lalu, bagaimana dengan kitab suci, apakah bisa menjadi acuan? Dalam kultur masyarakat yang homogen satu keyakinan mungkin bisa diterapkan, tetapi dalam kultur masyarakat yang heterogen dengan keyakinan yang beragam tidak mungkin dilakukan. Hal ini karena hanya akan menimbulkan anak emas bagi satu keyakinan dan diskriminasi bagi penganut keyakinan lainnya. Lihat saja, kitab suci dianggap sebagai kebenaran hanya oleh penganutnya. Di luar penganutnya, semua yang tertera dalam kitab suci akan dianggap sebagai dongeng, yang sama nilainya dengan isi novel Harry Potter.

Perbedaan persepsi dalam memandang kebenaran suatu objek pada hakikatnya bukanlah suatu pembeda yang saling menghancurkan satu sama lain, namun merupakan pelengkap yang saling menyempurnakan. Berpikir positif, saling menghargai, toleransi, dan rasa kebersamaan akan meminimalisir akibat dari perbedaan persepsi atas suatu objek. Kuncinya? Kembali kita harus mengacu pada acuan yang telah disepakati bersama.

Tak Ada Kebenaran Mutlak: All is Relative.

Oh ya, ….opini ini pun relative, iya toh?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun