Hanya saja aroma kotoran  dan kencing kuda yang menyebar ke seantero lapangan tidak dapat dihindari. Meski kandang kuda di seputar  Pasar Rumput  bukan cuma itu satu-satunya, tapi hanya tempat  inilah yang menyisakan hal ihwal kawasan itu menjadi nama kampung Kandang Kuda.
Kuda memang menjadi bagian dari kehidupan Pasar Rumput. Tahun 60 hingga menjelang 70-an, delman atau sado yang ditarik kuda merupakan alat transportasi handalan di kawasan itu.Â
Penumpangnya rata-rata pedagang  di empat pasar yang menjadi  tujuan trayeknya, yaitu pasar Manggarai  di depan stasiun kereta api, kemudian Pasar Rumput, lalu pasar Kawi Ratna, dan pasar Gembira  yang terletak di ujung jalan Halimun. Ramainya hilir mudik delman di kawasan itu rupanya sudah terjadi  sejak jaman kolonial dulu.Â
Menurut cerita orang-orang tua di situ, jalan Sultan Agung merupakan jalur utama dari wilayah selatan atau timur menuju pusat kota  dengan menggunakan kereta-kereta berkuda. Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari itu menjadikan kuda perlu istirahat. Maka disediakanlah tempat peristirahatan kuda.Â
Letaknya sekarang, kira-kira di sekitar kantor markas polisi militer Guntur. Di situ kuda diberi makan rumput  segar dan campuran makanan lainnya pada suatu tempat yang disebut kobongan. Sementara itu tuan kusir atau penumpang kereta kuda, dapat sejenak berleha-leha di penginapan yang juga tersedia di situ.
Karena kebutuhan rumput yang cukup banyak, pasokan pun berdatangan. Daerah yang sekarang terkenal dengan segitiga emas Kuningan, merupakan kawasan hijau dan rimbun. Rumput tumbuh  dengan sangat subur. Dari sanalah rumput-rumput diangkut dengan gerobak maupun dengan cara dipikul untuk dijual.Â
Sepulangnya dari hasil menjual rumput, gerobak-gerobak telah berganti  isi dengan bahan pakaian atau bahan makanan kebutuhan pokok sehari-hari.  Kebutuhan rumput yang dipasok, tidak cuma hanya untuk kuda-kuda yang sedang berisitirahat di tempat itu saja. "Dari mane-mane, orang yang punye kuda pade beli rumput di situ" kata Sarbini mengutip cerita almarhum Ibnu, seorang tokoh masyarakat di situ. Mungkin dari situlah nama Pasar Rumput diambil.
Ayah Ibnu juga pemilik kuda dan delman yang terakhir didapati di kawasan Pasar Rumput. Â Seiring berkembangnya jaman dan pola hidup, kuda dan delman tidak lagi mampu bertahan di situ. Perannya digantikan oleh bajaj, angkot, metromini, kopaja, busway, dengan asap knalpotnya yang menyesakkan. Masih untung, kandang kuda milik ayah Ibnu tidak terlupakan.Â
Meski  hanya tinggal nama, namun hingga kini pemukiman disekitar itu masih disebut sebagai daerah kandang kuda. Akan halnya pasar sepeda, kini pedagangnya kebanyakan berasal dari daerah Kediri-Jawa Timur.  Tidak ada lagi sepeda yang yang dituntun keluar dari gang, dikendarai dua sekaligus, lalu dijajarkan di bantaran kali, apalagi dicuci dengan air kali yang kini sudah berubah menjadi sangat keruh.
 (kangkus)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H