Mohon tunggu...
kusumaning dewi
kusumaning dewi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sekedarnya saja

Mencoba untuk mepraktekkan apa yang aku yakini

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Aku Kecil

7 Juli 2019   20:47 Diperbarui: 7 Juli 2019   22:13 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tulisan untuk event Fiksiana Community

"Ketika aku kecil itunya juga masih kecil "

Prolog : Masa kecil dilihat dari kacamata saat ini, saat setelah dewasa. Di dalam psikologi, ingatan-ingatan masa kecil sangat berpengaruh pada perilaku seseorang saat ini. Menuliskan kisah masa kecil yang masih kuat melekat adalah salah satu metode penyembuhan trauma. Jika dirasa masih ada, tuliskan. Jika terlalu pahit, maafkan sedikit demi sedikit. Ayo kita bisa.

Masa kecilku monoton tapi mempesona bagiku saat ini yang menceritakannya. Boleh jadi tidak menarik, tapi sangat kaya dan mungkin sesuatu yang bisa kembali kunikmati saat ini setelah berjibaku dengan kehidupan kurang lebih 30 tahun setelahnya.

Aku terlahir sebagai anak guru SD. Tetangga-tetanggaku waktu itu adalah pedagang di pasar, ada penjual tempe, penjual bubur, penjahit dan peternak. Di depan rumahku sawah terbentang luas, disitulah tempatku bermain dan juga teman-teman sebayaku. Sayangnya, lebih banyak aku bermain sendiri karena pekerjaan orang tuanya, teman-temanku tak punya waktu bebas untuk bermain. Yang satu dipanggil untuk membantu ngebungkus tempe, yang satu dipanggil untuk menyiapkan sayur-mayur untuk jualan bubur esoknya. Yang lain dipanggil untuk membantu memasang benik pada baju-baju jahitan ibunya. Aku melihat mereka mencuri-curi waktu untuk bermain. Meskipun aku kesepian, aku beruntung diberi kesempatan untuk menjadi pengamat.

Seringkali aku pergi ke tetanggaku, membantu temanku membungkus tempenya agar segera cepat selesai dan temanku bisa bermain denganku. Aku juga sering menggantikan menggembala kambing, aku sebut sebagai bermain  karena tidak ada paksaan, berbeda dengan temanku yang menggembala kambing adalah sebuah keterpaksaan. Dia ingin permainan yang lain, permainan yang tanpa paksaan. Itu mwnurutku. Namun usahaku itu tak lama, tetap saja waktu mereka hanya sedikit untuk bermain denganku, apalagi anak perempuan sama sekali tak ada waktu untuk bermain sepertiku. Akhirnya, aku menerima saja kenyataan itu dan mulai berteman dengan alam selain manusia. Ya, Alam.

Di lingkungan kecilku, terbentang sawah dan kebon. Hari minggu jam enam pagi aku menunggu kerbau-kerbau lewat depan rumah, mengikutinya hingga ke sungai yang agak besar. Melihat kerbau-kerbau itu dimandikan. Lama, sejam mungkin. Jika saja aku diperbolehkan, mungkin aku juga ingin nyebur dan memandikannya. Tapi berhubung tubuhku kurus, aku menikmatinya saja. Selesai itu, aku mengikuti penggembala bebek, melihat bebek makan dengan cara yang lucu, dan melihat simbah berjarik di belakangnya begitu lincah. Dilanjut dengan melihat ibu-ibu menanam padi atau jika waktunya mengolah tanah, menunggui mas-mas memainkan traktornya. Kemudian pergi mancing di selokan. Jangan dikira, selokan kecil di sawah depanku kalau ikannya engga kena indrim (racun) banyak banget ikan sama udangnya. Engga cuman mancing, kadang ikut 'nggogohi' alias ngubek-ubek liang ikan .

Di malam hari, ikut melek bersama teman-teman yang nungguin sawah yang ditanami cabe merah, waktu itu cabe mahal jadi banyak malingnya. Aku ikut melek sampe jam dua. Tidak perlu ditanya kenapa orang tuaku tidak melarangku, ada kakak lelakiku disitu.

Mungkin pertanyaan muncul, bagaimana waktu itu aku bisa betah mengamati sesuatu, bahkan ketika aku tidak ikut bermain atau tidak ada sesuatu yang bisa kukerjakan. Saat ini aku berpikir, mungkin saja hal-hal itu tumbuh di diriku karena kata-kata yang diberikan oleh bapakku waktu itu. Kata-kata itu kira-kira begini, "Lihatlah daun pohon pisang itu, perhatikan saat dia bergerak, entah sewaktu ada angin, atau sewaktu tidak ada angin. Lalu lanjutkan, kapan ada angin, kapan tidak ada angin, lalu perhatikan suara-suara di sekitarnya". Yang kutahu, semenjak saat itu aku tumbuh menjadi seorang pengamat. Termasuk mengamati kapan suara kodok di sawah begitu rame bergemuruh meramaikan seluruh isi sawah dan kapan mereka berhenti berbunyi. Juga perubahan hawa/suasana, saat pergantian sore hari, malam hari, hingga waktu-waktu wingit dan menjelang subuh.

Demikian kisah waktu kecilku yang masih kuingat. Dan kini, menjadi pengamat yang mengamati adalah hal yang sedang kupelajari kembali. Dan tak perlu heran mengapa perilakuku saat ini tak beda jauh dengan masa kecilku .

Kalau kamu? Masih ada yang pekat melekat dalam ingatankah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun