Mohon tunggu...
kusumaning dewi
kusumaning dewi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sekedarnya saja

Mencoba untuk mepraktekkan apa yang aku yakini

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lereng Lawu [1]

3 Maret 2014   04:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cerita sebelumnya : Aku dan Tarian itu [5]

Hari berlalu, ingatanku tentang peristiwa pingsannya aku dan kejadian yang aku alami didimensi lain hanyalah sebatas mengingat wajah lelaki berbaju beskap lengkap layaknya Raja Keraton Solo, yang kemudian terngiang di benakku sebuah kata 'Lereng Lawu'.

Dalam ketidakmengertianku, alam bawah sadarku menuntunku untuk mencari tahu, ada apa gerangan dengan lereng lawu. Lereng lawu tentu saja tidak asing bagiku, karena disanalah aku lahir dan dibesarkan meski hanya sampai SD karena sejak SMP aku sudah mulai menjelajah meninggalkan desaku. Karenanya pengetahuanku tentang lereng lawu masih sangat minim. Berbekal rasa penasaran pada sosok laki-laki berbeskap Jawa lengkap itu aku mulai menelusuri segala sesuatu tentang lereng lawu, dan berharap dapat menemukan sedikit pencerahan pada teka-teki yang aku ingin aku ungkap.

Salah satu ekplorasi yang telah aku lakukan dilereng lawu hanyalah naik gunung layaknya anak-anak pendaki yang menjelajah gunung, ingatankupun kembali pada masa itu, dua tahun lalu, aku ingin mempersepsikannya kembali, segala sesuatu yang kualami saat itu dengan cara pandangku yang sekarang, terutama setelah aku bertemu dengan lelaki berbeskap Jawa lengkap itu.

Dua tahun lalu ketika aku masih ditingkat dua, seorang lelaki temannya teman kos datang. Agak nyentrik orangnya. Aku ikut nimbrung dalam perbincangan mereka, karena posisi ruang tamu yang leluasa untuk bisa ikut duduk dan mengobrol. Rupanya mereka merencanakan untuk naik gunung, dan gunung itu adalah gunung lawu. Kontan saja aku mengangkat jari telunjuk bermaksud mengajukan diri untuk ikut serta dalam pendakian mereka, kebetulan rumahku dekat dengan gunung lawu, sekiranya jika aku diijinkan, aku akan ikut mendaki.

Orang nyentrik temannya temanku itupun justru tambah senang karena mendapat tambahan wadya bala. Akhirnya bertujuh kami berangkat, tiga laki-laki dan empat perempuan. Aku tidak menawarkan mereka menginap di rumahku karena aku berencana tidak pamit ayah dan ibu, pasti tdak diijinkan. Ketimbang tidak diijinkan, mending tidak usah minta ijin ^_____^.

Kami berangkat naik bis dari semarang lalu turun di terminal tirtonadi solo, menyambung dengan bus jurusan tawangmangu. Sesampainya diterminal tawangmangu, kami sudah ditunggu oleh kendaraan plat hitam yang siap mengantarkan kami ke pos I pintu masuk pendakian gunung lawu.

Terdapat dua pintu masuk pendakian ke puncak gunung lawu, yaitu cemoro kandang dan cemoro sewu. Jarak antara cemoro kandang dan cemoro sewu hanya kurang lebih 500 meter, namun kedua tempat itu sudah berada diwilayah kabupaten yang berbeda, karena gunung lawu terletak diperbatasan dua propinsi, yaitu antara kabupaten karanganyar, jawa tengah dan kabupaten magetan, jawa timur. Cemoro kandang masuk ke wilayah jawa tengah, sedang cemoro sewu masuk wilayah jawa timur.

Kami memutuskan masuk melalui pintu cemoro sewu, belakangan aku ketahui bahwa jalur cemoro sewu lebih bersahabat bagi pendaki pemula. Pendakian dimulai pagi hari karena kebanyakan adalah pendaki pemula, jadi pendakian dilakukan dengan santai. Kira-kira 9 jam perjalanan sampai puncak, berbekal mie instan dan madurasa aku begitu bersemangat mendaki. Tidak banyak barang yang kubawa, bahkan aku hanya membawa jaket tipis.Berbeda dengan pendaki-pendaki lain yang dengan lengkap membawa perbekalan, aku belum begitu mengerti bagaimana naik gunung itu.

Pukul 09.00 kami mulai perjalanan, tentu saja hawa dingin sudah kerasa di pintu masuk, kadang pagi hari bisa mencapai 5 derajat celcius. Tapi itu tidak menyurutkan langkah anak-anak muda yang penuh rasa penasaran. Diawal perjalanan dimulai dengan ramah tamah dari sesama anggota, karena tidak semuanya saling kenal sebelumnya. Hari itu bulan juli, bulan yang pas untuk pendaki pemula, karena hujan jarang turun dan udara tidak terlalu panas. Meskipun kadang gerimis masih menyapa karena dibawa kabut yang turun. Gerimis yang cuma sebentar kami jadikan alasan untuk berisitrahat sejenak melepaskan penat dan membuat kopi serta makan camilan penambah tenaga. Layaknya anak muda yang sedang berkumpul membuat keriuhan tersendiri, tapi pribadiku yang introfet tidak lantas membuatku sepenuhnya membaur dengan mereka. Aku tetaplah pribadi yang akrab dengan kesendirian. Dalam batin dan benakku yang lain, aku mencoba berkomunikasi dengan alam dimana aku sedang berada saat itu. Mencoba mengenal, dan menguasai medan.

Lawu adalah gunung yang ramah, mendaki gunung lawu layaknya sedang berwisata, bahkan aku menemui eorang bule wanita dan seorang pemandunya dengan gaya santai tanpa membawa bekal naik mendahului kami, mereka sedang potrat-potret keindahan alam lawu yang dipos-pos pertama hingga pos lima ditumbuhi pohon-pohon lebat yang cantik-cantik. Meski masih didominasi pohon pinus. Karena cuaca cerah, jadi pendakian kami tidak bergerombol melainkan dengan jarak antar pendaki yang cukup jauh. Hal ini membuatku lebih nyaman, karena aku dapat menikmati kesendirianku dan bisa menyatu lebih dalam dengan alam.

Saat aku mulai kelelahan, alam bawah sadarku mulai beraksi, energi dalam yang aku punyai mulai menguasai, aku mulai belajar mengendalikannya, aku berkata, aku ingin mereka membantuku, mereka entah siapa itu, aku menyebutnya sebagai energi diri, yang dengan mudah aku temui saat alam pikirku mulai berhenti. Seperti sekarang, saat otakku mengatakan bahwa aku sudah tidak kuat berjalan dan ingin berhenti beristirahat dulu. Tapi alam bawah sadarku membangunkan pikirku, lalu aku memerintahkannya untuk membantuku meringankan tubuhku agar aku mudah melangkahkan kaki menuju puncak gunung ini. Benar saja, entah dari mana asalnya, seolah-olah energiku bangkit kembali. Aku mulai mengingat, hawa yang aku rasakan saat di lapangan bola voley, sama dengan hawa yang aku rasakan saat mendaki kala itu. Benar rasanya, energi itu memasuki kakiku dan meringankan langkah-langkah kakiku. Hemm..... kini aku tahu dari mana asalnya aku begitu cepat merasakan hawa/energi yang datang padaku, rupanya kejadian di lapangan bola volley itu bukan yang pertama.

Diantara batu-batuan besar yang tertata rapi dan membentuk jalan itu kami menikmati udara sejuk dan alam nan indah. Menuju maghrib kami masih di pos lima. Target dari si orang nyentrik, kami harus sampai di sendang drajat (tempat istirahat) sebelum jam sembilan. Akhirnya kami tetap melanjutkan perjalanan meski hari sudah gelap.

Di perjalanan menuju maghrib inilah aku mendengarkan curhat temanku, yang dari tadi mengatakan bahwa dia mendengar suara orang yang menembang gending jawa, serta beberapa kali melihat kelebatan seorang wanita yang berkemben hijau. Aku hanya diam mendengarkan, karena dibawah kami diberi pesan agar jangan berucap yang macam-macam, semuanya perkataan haruslah perkataan yang baik. Aku tidak bisa berkomentar apa-apa saat temanku bercerita, kami hanya tetap khidmat melanjutkan perjalanan, dengan jarak antar pendaki yang dekat karena jalan yang dilalui sudah mulai sempit dan mulai menajak curam.

Cerita itu aku simpan dalam hati, dan mulai meletakkan beberapa puzzle, setelah lelaki berbeskap hitam itu, kini ada wanita berkemben hijau.

Sampailah kami di sendang drajat, disana kami masuk ke dalam gua. Gua tersebut dihuni dua orang suami istri yang biasanya menyiapkan nasi dan lauk pauk seperti tempe goreng yang sengaja disiapkan untuk para pendaki. Tentu harganya bisa lima kali lipat dari harga dibawah. Kala itu harga normal satu potong tempe goreng seratus rupiah dibawah, dan ketika diatas harganya menjadi lima ratus rupiah. Harga yang relatif murah karena bisa ditemui di puncak gunung. Akhirnya kami istirahat dan menghabiskan malam di gua itu karena diluar angin dingin mulai menyerang. Gua itu berukuran 4x5 meter, cukup untuk kami bertujuh ditambah suami istri penghuninya. Aku tidak bisa tidur karena kedinginan. Hari itu, aku gunakan sebagai perkenalan dengan gunung Lawu, selanjutnya nanti, aku ingin kembali lagi kesana, untuk mengetahui lebih dalam lagi misteri yang aku bawa kini.

Bersambung ......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun