Melalui artikel ini saya ingin membuka hati para anggota dewan terhormat di Gedung Senayan, Jakarta untuk meninjau ulang muatan RUU Ciptaker yang sangat merugikan kaum pekerja atau buruh. Tujuh partai politik menyetujui terbentuknya RUU ini untuk menjadi Undang-undang baru di prolegnas 2020.
Alhamdulilah Partai Demokrat tidak ikut menyetujui alias menolak. Bersama buruh, Partai Demokrat sangat mengerti akan keinginan kami para buruh.Sangat sejalan dengan aspirasi rakyat pekerja. Terutama buruh yang begitu dirugikan atas kebijakan yang nantinya akan disahkan menjadi Undang-undang.
Bisa dilihat, dari poin-poin draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja hampir 90 persen lebih mengedepankan kepentingan pengusaha dan investor. Dibanding terhadap hak-hak para pekerja. Sangat sedikit, bahkan justru dipinggirkan.
Ditinjau dari poin yang dimaksud akan saya tuangkan sedikit, agar masyarakat tahu. Buruh sangat tertindas atas pasal-per pasal dalam RUU Cipta Kerja.
Pertama, hal aturan pembayaran upah berdasarkan satuan waktu kerja per jam. Gila! Memang Negara kita sudah maju seperti di Jepang? Â Di sana memakai cara ini karena Negara Jepang sudah makmur loh.
Bila diterapkan di Indonesia, akan berdampak pada jam kerja yang eksploitatif sehingga merugikan para buruh. Aturan ini bisa memangkas hak buruh atas istirahat mingguan selama 2 (dua) hari dalam sepekan.
Tak sampai di situ loh. Bila ditelisik sangat merugikan kami para kaum buruh. Sangat berpotensi membuat buruh yang mengambil hak cuti, libur, dan atau berhalangan tidak mendapat upah.
Bagaimana dengan buruh perempuan? yang berhalangan karena haid, hamil, melahirkan dan menyusui.Gak dapat uang dong kalau pasal ini diterapkan. Yang untung malah perusahaan, sedangkan kaum pekerja tentu sangat rugi.
Lalu, RUU Ciptaker menerapkan prinsip mempermudah proses rekrutmen buruh, tetapi juga mempelonggar proses pemecatan. Tidak elok diterapkan. Tentu sangat berpeluang bagi orang-orang terdekat pengusaha untuk mendapatkan lowongan pekerjaan. Sedangkan pelamar kerja yang memang membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup akan tersingkir. Kalah saing dengan orang titipan dari pengusaha.
Bisa dibayangkan. Poin ini benar-benar merugikan kami sebagai kaum buruh. Kenapa? Di saat adanya kelonggaran untuk pemecatan terhadap pekerja yang kritis, menuntut hak-hak yang semestinya didapat tapi diselewengkan oleh pengusaha, semakin melemahkan kaum buruh. Karena dibayang-bayangi sanksi pemecatan. Karena lebih gampang. Jika diperhatikan lagi, prinsip ini tergambar melalui aturan pemangkasan nilai pesangon dan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup bagi buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Selanjutnya, RUU Ciptaker menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) bersyarat dengan memerhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi, sementara Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus. Wow! Lagi,lagi sangat merugikan kaum buruh atau pekerja.
Aturan ini membuat buruh makin sulit mendapat upah yang adil dan layak. Yang paling sulit diterima ialah, RUU Ciptaker melonggarkan syarat untuk mempekerjakan tenaga kerja asing. Kalah saing? Bukan itu saja alasannya.
Kaum pekerja Indonesia terpinggirkan di negerinya sendiri. Perekrutan tenaga kerja asing akan merugikan buruh kelas menengah dan kelas bawah yang notabene merupakan mayoritas dari angkatan kerja di Indonesia.
Jujur, saya menulis hingga meneteskan air mata tuan! Tolong bantu kami pekerja buruh ini. Mata hati kalian yang katanya pro kepada rakyat di kala kampanye Pilpres 2019 dulu? kalian berkhianat kepada buruh.
Tak ada buruh, kalian tidak akan menang mendapatkan suara untuk duduk manis di Gedung yang megah itu. Sekarang kalian seperti kacang lupa akan kulit... Terima kasih AHY dan Demokrat yang memilih bersama kami kaum buruh yang tertindas dari penguasa buta karena harta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H