Setiap  tahun umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan yang  didasarkan atas rasa cinta terhadap Rasulullah ini pertamakali diadakan  oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi untuk membangkitkan semangat umat Islam  yang telah padam, agar kembali berjihad dalam membela Islam pada masa  perang Salib.
Riwayat lain mengatakan bahwa yang pertamakali adalah  seorang Raja Ibril bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabari pada awal abad  ke-7 Hijriah. Raja Ibril memperingati kelahiran nabi dengan sangat  mewah, ia menyembelih ribuan kambing dan unta untuk para hadirin yang  diundangnya.
Kali ini kita tidak akan membahas mana yang benar  mengenai siapa orang pertamakali yang mengadakan maulid nabi Muhammad, melainkan kita berusaha menelaah kembali filosofi perayaan kelahiran  nabi yang agung ini.
Maulid nabi Muhammad diadakan jauh setelah beliau  wafat, namun dapat kita lihat dalam sejarah bahwa dengan mengingat  kembali beliau dapat membangkitkan jiwa jihad pasukan Islam Sultan  Salahuddin. Sejarah tersebut seharusnya juga dapat berlaku bagi  kehidupan kita saat ini, yakni semangat mewujudkan kejayaan Islam, dan  lebih luas lagi kejayaan bangsa Indonesia. Bagaimana caranya?
Memperingati  maulid nabi harus menjadi refleksi bagi umat Islam untuk kembali  membangkitkan semangat dalam menjalankan nilai-nilai yang beliau  ajarkan. Di Indonesia, peringatan maulid biasanya diisi dengan ceramah  agama mengenai sejarah hidup nabi Muhammad.
Hal ini harusnya menjadi  bahan renungan untuk mengukur seberapa jauh selisih subtansi amal beliau  dengan amal kita, baik dalam bentuk hablun min Allah, hablun min annas,  maupun hablun min alam. Tujuannya adalah agar kita dapat mengetahui  mana saja perbuatan kita yang harus "dihilangkan atau diwujudkan" dan  "ditambah atau dikurangi."
Beberapa nilai mulia yang beliau ajarkan  adalah kesantunan, perdamaian, dan persaudaraan, maka tak heran seorang  sejarawan asal Skotlandia, Thomas Carlyle pernah menyatakan kekagumannya  pada nabi Muhammad.
Ia mengenang, "Betapa menakjubkan seorang manusia  sendirian dapat mengubah suku-suku yang saling beperang dan kaum nomaden  (Badui) menjadi sebuah bangsa yang paling maju dan paling berperadaban  hanya dalam waktu kurang dari dua dekade."
Sekarang mari kita tengok  bangsa kita, sudah 73 tahun kita dinyatakan merdeka dan apakah sudah  mencapai puncak kemajuan serta peradaban? Bukan bermaksud pesimis atau  tak menganggap jerih payah yang sudah dilakukan bangsa ini, namun  mengingatkan kembali bahwa kita memiliki nilai yang dapat menjadikan  kita jauh lebih hebat sebagai bangsa.
Memperingati maulid nabi kita  jadikan momentum untuk mempersatukan kembali hati yang tercerai, suku  yang terberai, dan persaudaraan yang sempat tercerabut dalam masyarakat.  Masing-masing daerah di Indonesia mungkin memiliki istilah berbeda  dalam ritual peringatan maulid nabi, ada yang menamai dengan gerebeg  maulid, wewehan, dan lain sebagainya, namun subtansinya semua tetaplah  sama.
Peringatan ini adalah bentuk rasa syukur, kebahagiaan, dan ajang  untuk kembali menjalin persaudaraan sesama umat nabi Muhammad. Dan lebih  indahnya lagi, ini menjadi media untuk kembali lebih toleran terhadap  orang lain yang tidak seiman, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh  nabi Muhammad SAW.
Jadi harapannya selepas bulan Rabiul Awal kita  tetap menjadi manusia yang mengedepankan rasa persatuan, perdamaian, dan  persaudaraan dengan sesama. Mari kita menjadi umat Islam yang dapat  menyebarkan rahmat bagi seluruh alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H