"Dalam mengajak kebaikan, bersikap keraslah kepada diri sendiri dan lemah lembutlah kepada orang lain. Jangan sebaliknya," inilah yang seharusnya kita pegang teguh, petuah dari seorang ulama yang akrab disapa dengan Gus Mus. Semua manusia dibumi memang mengemban amanah untuk mengajarkan kebaikan, maka sampaikanlah dengan hati dan cara yang baik, bukan dengan kekerasan dan paksaan.
Lantas, apakah benar jika di Indonesia masih ada upaya radikalisme dan tindakan terorisme? Parahnya mereka menganggap benar tindakannya karena sebagai bentuk perjuangan atas nama agama. Agama mana yang mengajarkan kekerasan, paksaan, merampas hak orang lain? Jawabannya tentu tidak ada.
Radikalisme dan terorisme telah merusak tatanan segala bidang. Kondisi sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, politik, kesehatan, pertahanan dan keamanan terancam oleh gerakan ini. Betapa banyak manusia tak bersalah yang kehilangan nyawa dan harta. Dan tak sedikit pula kita mengalami perampasan generasi penerus bangsa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan radikalisme adalah  paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Sedangkan terorisme adalah  penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan. Tentu kita sepakat bergandengan tangan untuk mencegah dan memerangi dua musuh ini.
Paham radikalisme saat ini dibalut dengan begitu halus melalui kecanggihan tekhnologi, sehingga banyak yang terpengaruh dan secara sukarela mengikuti ideologi yang disebarkan. Sementara terorisme bukan sekedar persoalan aksi dan tindakan. Terorisme mengakar dari ideologi yang cukup kuat, anggota militan, jaringan kuat terorganisir dan dengan dukungan dana yang hebat.
Di Indonesia, upaya penanganan masalah ini diawali dengan dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada taahun 2010. Dari BNPT kita mendapatkan pemahaman tentang bagaimana  menanggulangi terorisme, yakni melalui hard appoarch dan soft appoarch.
Hard appoarch dilaksanakan dengan mendorong aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan Agung, dan Hakim) dengan didukung oleh TNI untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku secara transparan dan professional. Sedangkan soft approach dilaksanakan oleh BNPT dengan melaksanakan program deradikalisasi dan kontra radikalisasi.
Diantara hard appoarch dan soft appoarch, pendekatan lunak adalah cara yang dinilai lebih efektif. Mengapa demikian? Pertama. pendekatan lunak (soft approach) menekankan pencegahan dan melunturkan ideologi radikal dengan pendekatan kemanusiaan. Pelaku diluruskan pemahaman ideologinya dan korban dipulihkan secara fisik serta mental.
Kedua, Pendekatan ini mengajak kita sebagai masyarakat untuk ikut berperan melakukan pencegahan sesuai kemampuan yang kita kita miliki. Semakin banyak yang bergerak, maka peluang keberhasilannyapun akan semakin besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H