Mohon tunggu...
Kusno Haryanto
Kusno Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Apoteker yang Merdeka

Assessor Of Competency BNSP No.Reg.MET.000.003425 2013, Apoteker alumni ISTN Jakarta, Magister Farmasi Universitas Pancasila Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membawa Guru di Kota Tangerang Berpolitik adalah Sebuah Elegi

13 September 2017   21:51 Diperbarui: 14 September 2017   08:06 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Geliat pilkada dikota Tangerang semakin hari semakin terlihat. Ini terlihat jelas semakin banyaknya spanduk dukungan kepada bapak walikota dan bapak wakil walikota yang disebut - sebut akan ikut mencalonkan diri sebagai peserta calon walikota diperiode yang akan datang. Saat ini memang belum ada pernyataan resmi dari kedua pejabat dikota Tangerang ini yang menyatakan secara tegas akan ikut meramaikan bursa pilkada yang akan digelar tahun depan itu. 

Masyarakat dari berbagai unsur organisasi masyarakat dan kelompok - kelompok partisan sudah mulai gencar memasang spanduk foto dari kedua pejabat penting dikota Tangerang ini ditempat - tempat yang dianggap strategis dan mudah dilihat oleh mereka yang melaluinya. Walaupun sedemikan mulai maraknya spanduk yang dipasang dijalan - jalan itu tetapi belum ada satupun spanduk yang dipasang oleh sebuah organisasi profesi apapun untuk mendukung calon yang diinginkannya termasuk dari organisasi profesi guru. 

Guru sebagai profesi yang mulia yang menghantarkan manusia menjadi lebih bermanusia memang idealnya tidak usah memamerkan syahwat politiknya baik dikelas ataupun diluar kelas apalagi sampai melakukan aksi - aksi unjuk rasa yang sebenarnya sangat mudah dibaca oleh masyarakat lain untuk siapa kepentingan unjuk rasa yang dilakukan oleh guru itu. 

Peran guru disaat musim pilkada ini mestinya menjadi pihak yang terlihat netral bagi semua peserta. Guru harus berperan aktif mengembalikan slogan LUBER kepada masyarakat sehingga masyarakat akan memahami bahwa pilihan politik adalah rahasia, pilihan politik tidak perlu diumbar kepada pihak lain karena apabila semisal guru yang dengan terang benderang memamerkan keberpihakan politiknya dan bahkan mengajak rekan guru lainnya untuk sependapat dan mengikuti pilihan politiknya tentu ini akan menjadi persoalan baik dikelas, disekolah atau dilingkungannya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pilihan politik yang dipamerkan oleh guru dikelas jelas akan mengusik jam mengajar guru tersebut. Guru yang seperti ini pasti akan bicara panjang lebar disetiap jam mengajarnya  tentang tokoh yang menjadi pilihan politiknya dikelas, yang tentunya pasti dianggap menyebalkan oleh siswa. Bila dalam satu kelas ada 30 siswa maka bukan tidak mungkin separuh dari 30 siswa itu akan bercerita kepada orangtuanya dirumah tentang prilaku guru itu saat mengajar. 

Begitu pula saat disekolah, semisal diruang guru. Guru seperti ini bukannya berdiskusi tentang hal - hal yang berkaitan dengan pendidikan dan proses belajar mengajar atau prilaku siswa siswi saat berada diruang guru tapi malah selalu berdiskusi dengan ngotot untuk terus mempromosikan dan mengunggulkan calon pilihan politiknya nanti. Kebiasaan ini pun tentunya membuat rekan guru yang lain menyimpulkan guru seperti ini sedang "mabuk politik", bukan tidak mungkin bila ternyata teman diskusinya saat diruang guru tidak sependapat dengan dirinya diskusi yang awalnya adem ayem bisa menjadi kuat - kuatan bicara dan selanjutnya hubungan mereka menjadi tidak enak. 

Di lingkungan pun guru yang terlalu semangat berpolitik pasti akan menimbulkan resistensi bagi para tetangganya. Tetangga terdekat bila tidak sejalan dengan pilihan politik guru itu pasti akan malas untuk bertegur sapa. Itulah mengapa pentingnya seorang guru idealnya tidak pernah memamerkan syahwat politiknya, justru guru disaat musim pilkada harus berperan besar mengkampanyekan pemahaman tentang LUBER agar suasana kampanye nanti baik disekolah ataupun dilingkungannya tetap nyaman, tenang, rukun dan damai. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Karena pekerjaan dan tradisi luhurnya, guru jelas tidak bisa sebebas profesi lain yang dapat memamerkan pilihan politiknya. Guru harus dapat memberi contoh, guru harus dapat memberi semangat dan guru harus dapat memberi kekuatan, begitu lah ajaran dari Ki Hajar Dewantara yang sudah pasti dipahami oleh semua guru. Melakukan aksi unjuk rasa yang misal tuntutannya hanya meminta uang insentif dan kenaikan uang insentif menjelang pilkada adalah pilihan yang sangat tidak tepat, karena pihak yang diunjukrasai berdasarkan spanduk - spanduk yang sudah ada adalah pejabat yang bukan tidak mungkin akan mengikuti pilkada dimusim pemilihan berikutnya. 

Sangat tidak tepat karena unjuk rasa itu bisa saja dibaca sebagai keberpihakan pengunjuk rasa kepada calon lainnya yang menjadi bakal calon lawan orang yang di unjukrasai itu dipilkada nanti. Lalu bagaimana sikap guru bila ingin menyampaikan aspirasinya? Mudah saja sebenarnya, buat surat kepada sekretarisnya minta waktu untuk bertemu, bila tidak puas dengan pertemuan pertama buat surat lagi untuk diadakan pertemuan kedua, buat notulen disetiap pertemuan, bacakan kesepakatan dinotulen yang belum dilaksanakan atau sudah dijanjikan tapi belum dilaksanakan dipertemuan berikutnya bila masih belum puas bawa semua notulen ke legislatif lalu tunggu apa keputusan dari pertemuan antara eksekutif dan legislatif dan bila keputusannya uang insentif memang sudah menjadi kewenangan provinsi maka terimalah kenyataan itu. 

Guru di kota Tangerang dan tempat lainnya bukanlah pengemis, jadi tidak perlu melakukan unjuk rasa yang tuntutannya berkaitan dengan uang dan uang saja atau insentif dan naikan insentif. Uang memang sangat diperlukan tetapi harkat, martabat, kehormatan dan harga diri guru akan seketika runtuh jika sebagai guru anda teriak - teriak beramai - ramai menuntut uang. Itulah mengapa saya menulis membawa guru dikota Tangerang berpolitik adalah sebuah elegi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun