Babak baru kasus vaksin palsu semakin menghangat setelah Mentri Kesehatan seperti yang ditulis berbagai media mengungkapkan setidaknya ada 14 rumah sakit, 6 Bidan dan 2 klinik yang diindikasikan menggunakan vaksin palsu, banyak orang tua yang pernah mem vaksinasi anak balitanya ke rumah sakit yang disebut oleh Mentri Kesehatan datang beramai – ramai untuk meminta klarifikasi sekaligus pertanggung jawaban dari pihak rumah sakit yang disebutkan oleh Mentri Kesehatan itu.
Dari serangkaian cerita yang didapat dari banyak sumber disebutkan bahwa peran tenaga medis dalam hal ini Bidan disebut – sebut melengkapi peredaran atas vaksin palsu itu seperti yang disebutkan oleh Mentri Kesehatan saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI. Ibu Mentri menyebutkan ada 6 Bidan dan 2 klinik yang dikepalai oleh dokter yang menerima menerima vaksin palsu.
Dari rangkaian berita itulah kemudian terungkap berbagai cerita bagaimana jahatnya oknum paramedis yang diduga ikut berperan dalam peredaran dan penggunaan vaksin palsu, bahkan cerita miris ada di Rumah Sakit HB di Jakarta Timur, disana ada orangtua korban vaksin palsu yang mengatakan “vaksin diakui suster Irna punya dr. Indra. Hanya dr. Indra yang punya …. dstnya”.
Dari sini jelas ada oknum paramedis yang diduga bermain Apoteker – Apotekeran sehingga peran dan fungsi Apoteker sungguhan menjadi terabaikan. Ketiga profesi itu yakni, oknum Bidan, oknum Suster (Perawat) dan oknum dokter (ingat lho hanya oknum bukan keseluruhan jadi jangan mengecam saya ya).
Apoteker (berdasarkan keputusan Mentri Kesehatan RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004) adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker, sedangkan Pekerjaan Kefarmasian (menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009) adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Dari sini sudah jelas bagaimana arah pekerjaan seorang Apoteker terhadap sediaan farmasi termasuk vaksin bila dibandingkan dengan profesi paramedis lainnya seperti Bidan, Perawat (sering disebut suster) dan dokter, Apoteker lah yang menurut keputusan Mentri Kesehatan yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian dan itu harus dilakukan di Apotek.
Menjadi pertanyaan kita semua bagaimana pada akhirnya (oknum) dari 3 profesi medis itu yang bukan Apoteker ini akhirnya bermain Apoteker – Apotekeran dengan menyimpan dan memberikan vaksin yang justru palsu kepada masyarakat (pasien), padahal tidak ada satupun dasar hukum yang membolehkan mereka – mereka ini melakukan pekerjaan kefarmasian.
Tidak bisa dipungkiri, kita semua membutuhkan obat dan vaksin termasuk suplemen berupa vitamin agar tidak sakit, karena itu bisa dibilang obat dan vitamin termasuk vaksin merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan kita. Karena alasan itulah banyak orang yang nekat bermain Apoteker – Apotekeran dengan menjual dan mengedarkan obat dan vaksin seenaknya untuk memperoleh keuntungan yang besar tanpa pernah merasakan susah payahnya sekolah untuk menjadi Apoteker sungguhan.
Faktor keuntungan yang besar yang tentunya diduga menjadi alasan utama dari oknum – oknum paramedis itu yang akhirnya memberikan vaksin palsu kepada pasien – pasiennya. Tidak mungkin oknum – oknum paramedis itu tidak bisa membedakan mana vaksin asli dan mana vaksin yang palsu. Tidak perlu melakukan penelitian ilmiah, cukup membandingkan harga beli dari distributor saja sudah dapat terbaca bahwa vaksin ini palsu atau asli, sebab yaksin asli berharga mahal sedangkan vaksin yang palsu berharga sangat murah.
Itulah mengapa dalam setiap hal yang berhubungan dengan pekerjaan kefarmasian sebaiknya dan sudah seharusnya peran Apoteker dimaksimalkan, sudah tertulis pada keputusan Mentri Kesehatan bahwa Apoteker lah yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian bukan dokter, Perawat apalagi Bidan.
Apoteker sudah terbiasa dan terlatih dengan uji organoleptik, dimana uji indra atau uji sensori sendiri ini merupakan cara pengujian dengan menggunakan indra manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan suatu produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerpan mutu karena pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi kebusukan, kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari prooduk yang diuji ini. Dengan uji organoleptik sederhana yang hanya membutuhkan sampel pembanding yang sudah diketahui sifatnya ini seorang Apoteker dapat dengan mudah memutuskan bahwa ini adalah palsu atau tidak (hebat kan Apoteker).
Akhirnya semoga dengan kejadian vaksin palsu ini, masyarakat mulai tersadarkan bahwa tidak dibenarkan profesi lain selain profesi Apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian dan UNTUK MENCEGAH PERISTIWA YANG SAMA TERULANG LAGI ada baiknya yang selama ini bermain Apoteker - Apotekeran segera menyudahinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H