Mohon tunggu...
kusniawati
kusniawati Mohon Tunggu... Diplomat - Mahasiswi/ Hubungan Internasional/ Universitas Darussalam Gontor kampus putri

mahasiswi hubungan internasional, hobi membaca dan menulis dan salah satu karya yang telah di terbitkan adalah Sahabat until Jannah. penulis wattpad Amatir.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Analisa Segitiga Konflik Johan Galtung dalam kasus Genosida Rwanda: Diskriminasi Perempuan

30 September 2022   09:54 Diperbarui: 30 September 2022   10:02 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan sejarahnya, peristiwa Genosida 1994 berawal dari awal 1990-an, ketika Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, seorang Hutu mulai menggunakan retorika anti-Tutsi untuk mengkonsolidasi kekuasaannya di antara orang-orang Hutu. Awal Oktober 1990 pun sudah ada pembantaian terhadap Tutsi.[1] Akan tetapi, sebelum peristiwa Genosida Rwanda terjadi Peristiwa tragis penembakan Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa 2 tahun pemerintahannya. Lebih mengerikan lagi, peristiwa ini memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade.

Seperti yang diberitakan media, pembataian tersebut dilakukan oleh Etnis Ekstremis Hutu yang menjadi Etnis mayoritas di Rwanda.Kelompok bersenjata mulai membunuh siapa saja yang mendukung Piagam Arusha tanpa memedulikan status dan sebagainya. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor, dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi Piagam Arusha.[2]

Berdasarkan terSungguh ironi pada saat itu sebagian besar korban di geletakkan begitu saja dan tidak di makamkan secara layak. Dan umumnya saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekedarnya. Sekitar 85 persen dari penduduk Rwanda adalah etnis Hutu dan sisanya Tutsi beserta kelompok etnis yang lebih kecil lainnya. Meski minoritas, Tutsi telah lama dikenal banyak menduduki sektor-sektor kepemimpinan dan pemerintahan.[3]

Dampak dari peristiwa genosida sangatlah mengerikan, 800.000 jiwa telah terbunuh yaitu sepersepuluh dari total penduduk Rwanda, jutaan mengungsi, pelayanan  infrastruktur  sipil  hancur,  tatanan  social  bangsa pecah  (perempuan  menjadi  kepala  keluarga,  menjadi  pemimpin  suku, menghidupi keluarga)[4]

Perempuan yang selamat dari peristiwa genosida kehilangan suami, anak, kerabat dan masyarakat mereka Mengalami pemerkosaan sistematis dan penyiksaan, menyaksikan kekejaman yang tak terkatakan, dan kehilanngan mata pencaharian dan property mereka. Disamping kekerasan tersebut, perempuan menghadapi perpindahan (displacement), family separation dan food insecurity. Semua hal tersebut menimbulkan post- conflict psychological trauma untuk mereka. Masyarakat Rwanda menyadari bahwa dalam kesakitannya dan perjuangan para perempuan tersebut, maka mereka pantas untuk diberikan peran yang sangat penting dalam pembangunan negaranya.[5]

 

Berdasarkan penjelasan di atas,kita bisa melihat bahwa viktimisasi perempuan dalam wilayah konflik mengambil dua bentuk pokok, yaitu penghancuran fisik dan juga mental. Penghancuran simbolis,penghancuran simbolis dilakukan dengan tindak merendahkan martabat perempuan di hadapan umum (public humiliation), contohnya seperti menyebarkan isu kekerasan yang dikhususkan untuk kaum perempuan serta pelanggengan  sistem dan budaya patriarkal yang merendahkan (subordinasi)  partisipasi  perempuan  di ruang public.

Level Analisa: Nation

Kasus Genosida Rwanda dan yang lebih khususnya terkait deskriminasi terhadap kaum Wanita ini merupakan kasus nasional yang berdampak pada kaum Wanita di wilayah tersebut. Kasus ini tidak hanya berdampak pada satu dua orang akan tetapi kasus ini berdampak menyeluruh dan latar belakangnya pun tidak lepas dari keterlibatan masyarakat Rwanda sendiri.

Konsep: Hak Asasi Manusia

Kasus Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan fenomena yang telah merenggut Hak Asasi Manusia, terutama bagi perempuan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep Hak Asasi Manusia menurut Prof. Koentjoro Poerbobranoto. Bahwasanya, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu hak yang sifatnya mendasar atau juga asasi. Hak-hak yang dipunyai pada tiap-tiap manusia tersebut dengan berdasarkan kodratnya, pada hakikatnya tidak akan dapat dipisahkan sehingga akan bersifat suci[6].Terkait konsep Hak Asasi Manusia, dalam kasus ini yang mana hak perempuan dan Anak-anak yang seharusnya mendapatkan perdamaian akan tetapi harus merasakan kekerasan yang seharusnya tidak mereka dapatkan. Dan dalam kasus ini ketidak adilan dan sikap deskrimimasi turut andil mereka dapatkan.  

Teori: Realisme

Thomas Hobbes, salah satu ahli teori realisme, memandang manusia pada dasarnya bersifat egosentrik dan konfliktual kecuali bila terdapat kondisi di mana manusia dapat hidup berdampingan. [7]Dalam hal kepentingan pribadi, manusia cenderung mengandalkan diri sendiri dan termotivasi untuk mencari kekuatan yang lebih besar. Kasus deskriminasi perempuan dalam kasus Rwanda jika diteliti menggunakan teori Realisme, maka akan memcul berbagai fakta yang mencerminkan sifat Egois, kekejaman dan konfliktual  dari Etnis Hutu. 

 

 

Analisa Konflik berdasarkan Pohon Konflik:

 Dari konflik Genosida Rwanda, jika kita Analisa menggunakan Pohon Konflik maka kita akan menemukan fakta-fakta baru maupun akar dari penyebab terjadinya konflik. Penulis akan mencoba menguraikan siklus serta cabang dari Genosida Rwanda menggunakan Pohon Konflik.

 

  • Bagian daun dan Ranting Pohon , Seperti yang diberitakan dalam Media, bahwa kasus Genosida Rwanda merupakan bentuk penolakan dari Etnis Ekstremis Hutu terkait Piagam Arusha. Dan berawal dari penembakan Presiden Habyarimana dan kelompok bersenjata Hutu langsung memblokade Rwanda serta membunuh siapa saja yang menandatangani atau mendukung pengesahan Piagam Arusha. Dalam Piagam Arusha, Presiden Habyarimana mempunyai misi untuk menyatukan Etnis-Etnis Rwanda dan pembagian tugas untuk Etnis-Etnis tersebut.  Mulai dari pastor, pejabat pemerintahan sampai masyarakat sipil yang berasal dari Etnis Tutsi dan Hutu Moderat semuanya dibanatai habis oleh Etnis Ekstremis Hutu.[8]
  • Bagian Badan Pohon ,Dalam kasus ini, penulis akan menguraikan konflik ini dari sudut pandang penulis. Bahwasanya fenomena ini membawa dampak yang sangat besar bagi kaum perempuan yang berasal dari Etnis Tutsi. Yang mana, kaum perempuan sampai mengungsikan diri di negara-negara tetangga dan kaum perempuan mengalami berbagai kekerasan baik itu bersifat kekerasan fisik maupun mental.
  • Dalam hal ini, perempuan-perempuan dari Etnis Tutsi mengalami kekerasan Fisik seperti pemerkosaan yang dilakukan oleh Etnis Hutu. Etnis Hutu melakukan kekerasan seksual dengan tujuan supaya anak yang di lahirkan oleh mereka mempunyai Etnis campuran dan bukan dari Etnis Tutsi. Tidak hanya sampai disitu, berbagai penyakit timbul akibat kekerasan seksual tersebut, seperti penyakit HIV/AIDS yang diderita oleh perempuan-perempuan Tutsi. Dan perlakuan Etnis Hutu yang sangat tidak manusiawi terhadap perempuan yaitu dengan memutilasi kewanitaan perempuan-perempuan yang telah mereka lecehkan secara fisik.[9] Tidak hanya kekerasan secara fisik, kekerasan secara Mental pun turut di peroleh oleh perempuan-perempuan Tutsi. Banyak dari Perempuan Tutsi yang mengalami trauma, rasa khawatir dan mengalami PTSD.
  • Bagian Akar Pohon, Dalam kasus Genosida Rwanda, yang harus digaris bawahi yaitu bahwasanya kasus ini buakan hanya terkait konflik Etnis. Akan tetapi banyak berbagai pihak yang di untungkan dari konflik tersebut, seperti: 
  • Etnis Ekstremis Hutu, dalam kasus ini Etnis Ekstremis Hutu yang merupakan penduduk mayoritas sangat diuntungkan karena ke khawatiran mereka terkait Etnis Tutsi yang akan menguasai mereka akan segera musnah dan mereka bisa dengan luasa menduduki kursi pemerintahan. Karena yang memegang sector-sektor pemimpin dan pemerintahan mayoritas dari Etnis Tutsi. 
  • Kaum Elit, dalam kasus Genosida Rwanda bisa dilihat bahwa kelompok Elit merupakan kelompok yang sangat diuntungkan. Dengan kekuasaannya, kaum Elit melakukan Propaganda untuk membinasakan seluruh kaum Tutsi dan Hutu moderat. Mereka melakukan propaganda media dengan menjelek-jelekkan perempuan dari Etnis Tutsi dan Hutu moderat dan mengancam siapapun yang berani memperistri maupun menjadikan perempuan Tutsi sebagai selir.
  • Deskriminasi Perempuan. Yang terjadi dalam kasus ini adalah adanya deskriminasi perempuan. Sebelum terjadi Genosida Rwanda, perempuan Etnis Tutsi menduduki sector-sektor pemerintahan. Dan karena kasus Genosida Rwanda, kaum perempaun diperlakukan secara tidak manusiawi dan Etnis Hutu mengancam serta mempengaruhi Etnis mereka untuk melakukan kekerasan fisik, mental maupun simbiolis terhadap perempuan.

Analisis segitiga Johan Galtung

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Dari kasus Genosida Rwanda, jika di Analisa menggunak segitiga Johan Galtung terdapat tiga Efek yaitu Kekerasan langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural. Penulis akan mencoba menguraikan Analisa segitiga Johan Galtung dalam kasus Genosida Rwanda.

  • Kekerasan Langsung, dapat kita lihat dalam kasus ini telah memakan 800.000 jiwa dan hampir  menelan 1 juta jiwa. Dan bisa dikatakan telah memusnakan hamper seluruh Etnis Tutsi dan Hutu Moderat di Rwanda.
  • Kekerasan Struktural, kekerasan yang di alami oleh perempuan dari Etnis Tutsi dan Hutu Moderat mempunyai dampak yang sangat mendalam. Yang mana akibat dari kekerasan seksual tersebut, perempuan-perempuan Etnis Tutsi harus mengalami sakit secara fisik maupun mental.
  • Kekerasan Kultural, akibat dari Kekerasan mental maupun fisik yang di alami oleh perempuan-perempuan dari Etnis Tutsi, menyebabkan mereka mengalami trauma dan stress.

Segitiga Johan Galtung/ Deprivasi Relatif

 

Dari data yang penulis dapatkan, berdasarkan penjelasan dari Dwi Ardiyanti selaku dosen mata kuliah Resolusi Konflik pada hari senin tanggal 12 juli 2022, beliau mengatakan bahwa Johan Galtung mendefinisikan deprivasi relatif sebagai persepsi individu atas jarak negatif antara nilai ekspektasi (value expectations) dan nilai kapabilitas (value capabilities). Yang dimaksud dari kedaunya adalah sebagai berikut, Nilai ekspektasi adalah harapan individu akan kualitas hidup tertentu yang dipercaya dirinya berhak untuk memiliki atau menikmatinya. Nilai kapabilitas adalah suatu kondisi di mana mereka percaya mampu untuk mencapai harapan tersebut.[10]

 

  • Dari kasus Genosida Rwanda, jika dikaji menggunakan teori Deprivasi Relatif Galtung, maka secara relative berdasarkan Nilai ekspektasi Etnis Tutsi dan Hutu Moderat berhak mendapatkan kebebasan dan terlepas dari diskriminasi baik itu perempuan maupun laki-laki. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik dalam lingkup sosial masyarakat maupun pemerintahan.
  • Nilai kapabilitas, berdasarkan nilai kapabilitas sebenarnya Etnis Ekstremis Hutu yang menjadi kaum mayoritas di Rwanda seharusnya bisa menyaingi Etnis Tutsi maupun Hutu moderat yang posisinya sebagai kaum minoritas tanpa melakukan genosida. Dan Etnis-Etnis ini sebenarnya mampu saling bersaing secara sehat baik itu di kehidupan social masyarakat maupun ekonomi dan politik

Resolusi Konflik

 

            Deskriminasi perempuan dalam kasus genosida Rwanda jika dilihat dari eskalasi konflik yaitu sudah mencapai level together into the abyss. Yang mana berdasarkan Analisa yang dilakukan penulis, penulis melihat bahwa adanya deskriminasi perempuan dalam kasus tersebut. Diskriminasi ini tidak hanya berdampak pada perempuan Tutsi akan tetapi juga berdampak pada perempuan Hutu moderat. Maka dari itu, Resolusi konflik yang ditawarkan yaitu Power Intervention.

Power intervention, karena kasus ini berkaitan dengan kasus etnis, maka diharapkan Lembaga atau pemerintah (Lembaga Kemanusiaan/HAM) bisa menyelesaikan kasus ini. Campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan. Karena perempuan  dan para penduduk atau etnis Tutsi yang seharusnya dilindungi keamanan dan kesejahteraannya harus merakan yang Namanya kehancuran yang sama sekali tidak mereka duga.

 

            Seperti yang telah dijelasakan dalam pembahasan sebelumnya, dalam kasus ini dominasi Etnis Hutu yang sangat besar menyebakan kekacauan yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan oleh masyarakat Tutsi dan membutuhkan adanya bantuan dari pemerintah untuk penyelesaian kasus ini diharapkan adanya ultimatum dari pihak pemerintah karena kasus ini tidak hanya menyebabkan kerusakan pada infrastruktur, gen atau ras akan tetapi telah berakibat pada kehilangan jiwa atau ruh.

 

Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari kasus Genosida Rwanda yaitu berdasarkan Analisa menggunakan analisa Johan Galtung, bahwasanya ada berbagai fenomena yang dapat kita tinjau, antara lain:

 

  • Deskriminasi perempuan
  • Kekuasaan kaum Elit dalam mempropaganda media
  • Kekerasan seksual
  • Perebutan hak dalam politik maupun pemerintahan.

 

References

 

Sumber Jurnal

 

Anak Agung Ngurah Riski Wahyudi, I. N. (2021). Komparasi Penyelesaian Perkara Pidana Kejahatan Genosida yang Terjadi di Rwanda dan Myanmar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional. jurnal Komunikasi Hukum (Volume 7 Nomber 1, Februari 2021), 12.

Calvin Prastyo, Teori Hubungan Internasional Sebuah Pendekatan Paradigmatik, Jurnal Transnasional, Vol. 3, No. 2, Februari 2012, Hal.7

Karmanis. (2022). Partisipasi Politik Dan Keterwakilan Perempuan Di Parlemen. Jurnal Mimbar Administrasi Vol 19 No 1 2022 .

Newbury, C. ( januari 1998). Ethnicity and the Politics of History in Rwanda. Indiana University Press, https://www.jstor.org/stable/i389062.

Nuzulu, E. N. (2011). Peranan Perempuan Rwanda dalam kasus Genosida. Universitas pembangunan Veteran Yogyakarta, 50.

Sumber Web Site

Britania. (n.d.). https://www.britannica.com/place/Rwanda/Moving-forward.

FirmanTony. (2019, januari selasa). "Rwanda Banjir Darah: Sejarah Genosida Suku Hutu Kepada Etnis Tutsi,. Retrieved from Https://Tirto.Id/Rwanda-Banjir-Darah-Sejarah-Genosida-Suku-Hutu-Kepada-Etnis-Tutsi-Cmhc.

Nadira, F. (2020, April Selasa). Sejarah Hari Ini: Genosida dalam Konflik Etnis di Rwanda.

Putri, R. L. (n.d.). Https://Nasional.Kompas.Com/Read/2022/02/10/00000071/Pengertian-Ham-Menurut-Ahli?Page=All.

Sumber Report

Ardiyanti, D. (2022). Teori Johan Galtung. mantingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun