Berdasarkan sejarahnya, peristiwa Genosida 1994 berawal dari awal 1990-an, ketika Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, seorang Hutu mulai menggunakan retorika anti-Tutsi untuk mengkonsolidasi kekuasaannya di antara orang-orang Hutu. Awal Oktober 1990 pun sudah ada pembantaian terhadap Tutsi.[1] Akan tetapi, sebelum peristiwa Genosida Rwanda terjadi Peristiwa tragis penembakan Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa 2 tahun pemerintahannya. Lebih mengerikan lagi, peristiwa ini memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade.
Seperti yang diberitakan media, pembataian tersebut dilakukan oleh Etnis Ekstremis Hutu yang menjadi Etnis mayoritas di Rwanda.Kelompok bersenjata mulai membunuh siapa saja yang mendukung Piagam Arusha tanpa memedulikan status dan sebagainya. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor, dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi Piagam Arusha.[2]
Berdasarkan terSungguh ironi pada saat itu sebagian besar korban di geletakkan begitu saja dan tidak di makamkan secara layak. Dan umumnya saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekedarnya. Sekitar 85 persen dari penduduk Rwanda adalah etnis Hutu dan sisanya Tutsi beserta kelompok etnis yang lebih kecil lainnya. Meski minoritas, Tutsi telah lama dikenal banyak menduduki sektor-sektor kepemimpinan dan pemerintahan.[3]
Dampak dari peristiwa genosida sangatlah mengerikan, 800.000 jiwa telah terbunuh yaitu sepersepuluh dari total penduduk Rwanda, jutaan mengungsi, pelayanan  infrastruktur  sipil  hancur,  tatanan  social  bangsa pecah  (perempuan  menjadi  kepala  keluarga,  menjadi  pemimpin  suku, menghidupi keluarga)[4]
Perempuan yang selamat dari peristiwa genosida kehilangan suami, anak, kerabat dan masyarakat mereka Mengalami pemerkosaan sistematis dan penyiksaan, menyaksikan kekejaman yang tak terkatakan, dan kehilanngan mata pencaharian dan property mereka. Disamping kekerasan tersebut, perempuan menghadapi perpindahan (displacement), family separation dan food insecurity. Semua hal tersebut menimbulkan post- conflict psychological trauma untuk mereka. Masyarakat Rwanda menyadari bahwa dalam kesakitannya dan perjuangan para perempuan tersebut, maka mereka pantas untuk diberikan peran yang sangat penting dalam pembangunan negaranya.[5]
Â
Berdasarkan penjelasan di atas,kita bisa melihat bahwa viktimisasi perempuan dalam wilayah konflik mengambil dua bentuk pokok, yaitu penghancuran fisik dan juga mental. Penghancuran simbolis,penghancuran simbolis dilakukan dengan tindak merendahkan martabat perempuan di hadapan umum (public humiliation), contohnya seperti menyebarkan isu kekerasan yang dikhususkan untuk kaum perempuan serta pelanggengan  sistem dan budaya patriarkal yang merendahkan (subordinasi)  partisipasi  perempuan  di ruang public.
Level Analisa: Nation
Kasus Genosida Rwanda dan yang lebih khususnya terkait deskriminasi terhadap kaum Wanita ini merupakan kasus nasional yang berdampak pada kaum Wanita di wilayah tersebut. Kasus ini tidak hanya berdampak pada satu dua orang akan tetapi kasus ini berdampak menyeluruh dan latar belakangnya pun tidak lepas dari keterlibatan masyarakat Rwanda sendiri.
Konsep: Hak Asasi Manusia
Kasus Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan fenomena yang telah merenggut Hak Asasi Manusia, terutama bagi perempuan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep Hak Asasi Manusia menurut Prof. Koentjoro Poerbobranoto. Bahwasanya, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu hak yang sifatnya mendasar atau juga asasi. Hak-hak yang dipunyai pada tiap-tiap manusia tersebut dengan berdasarkan kodratnya, pada hakikatnya tidak akan dapat dipisahkan sehingga akan bersifat suci[6].Terkait konsep Hak Asasi Manusia, dalam kasus ini yang mana hak perempuan dan Anak-anak yang seharusnya mendapatkan perdamaian akan tetapi harus merasakan kekerasan yang seharusnya tidak mereka dapatkan. Dan dalam kasus ini ketidak adilan dan sikap deskrimimasi turut andil mereka dapatkan. Â