Mohon tunggu...
Kusnandar Putra
Kusnandar Putra Mohon Tunggu... lainnya -

Adalah seorang ayah | penulis | desainer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beribadah Hanya di Bulan Puasa?

14 Juli 2013   06:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:35 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم

[caption id="attachment_254625" align="aligncenter" width="320" caption="Catatan Harian Puasa Kita (arsip pribadi)"][/caption]

Selepas sholat shubuh, penulis melihat sebuah keindahan. Apa itu? Itulah jumlah jamaah yang sholat di masjid. Semua mungkin merasakan ini, khususnya di Indonesia, betapa ramainya masjid kita di bulan romadhon ini. Yang tadinya nominal jamaah hanya 2 baris, kini mencapai 5 atau 6 baris ke belakang. Ini merupakan nikmat dari Alloh yang harus kita syukuri. Betapa bulan ini dipenuhi mahfum dengan keberkahan, baik itu keberkahan di keluarga kita sendiri, seperti bisa berkumpul berbuka puasa bersama dengan keluarga ataupun keberkahan bersama, yaitu berjumpa dengan sahabat-sahabat di masjid.

Tetapi, ada pula budaya yang sesungguhnya tidak mencermikan perilaku positif, yang justru membuat warga resah. Kita sudah tahu mungkin! Yaitu adanya budaya main petasan. Kadangkali bahan peledak mungil ini membuat jamaah tidak tenang, alias terganggu di saat sholat ataupun di luar sholat. Bayangkan saja! Anak-anak itu kadang melemparnya di atas rumah, atau di jalan-jalan. Sungguh sangat disayangkan.

Yang paling disayangkan kalau pelempar petasan itu adalah anak kita sendiri. Ini akibat kurangnya perhatian kita selaku orang tua yang seharusnya membentengi anak, tetapi kita justru menjadi motivator kesalahan.

Yah, kita tahu bahwa ini merupakan ekspresi kegembiraan anak di bulan ramadhan. Sebuah kesenangan tersendiri dalam menyambut bulan suci. Tapi, apakah fragmen seperti ini yang menjadi alat kegembiraan? Perlu ditinjau ulang! Sebab ini bulan suci, bukan pula peledak! Kalau anak-anak kita mengingini kegembiraan, maka cukuplah ini menyambutnya dengan memperbanyak baca al-Qur'an dan senantiasa membiasaan anak untuk sholat di masjid, khususnya yang laki-laki. Ini lebih baik ketimbang membuang petasan!

Ibadah Untuk Selamanya!

Yang menjadi titik fokus adalah bagaimana kita melihat fenomena beramadahan ini dengan jeli. Betapa bulan ini penuh dengan keistimewaan. Sudah kita bahas tadi, ada kenaikan fluktuasi jumlah jamaah di masjid, komunikasi sesama muslim membaik. Semoga ini bisa bertahan sampai akhir hayat, bukan saja sebatas akhir ramadhan. Karena pada sebagain kasus, ada juga orang yang beribadah karena rutinitas saja! Mereka beribadah hanya ikut-ikutan. Sehingga, makna-makna sebuah penghambaan menjadi hilang. Tak ada nilai syukur yang bersemayam dalam dirinya. Perlu kita refleksi kembali, bahwa sesungguhnya bulan romadhon adalah sarana menambah kesyukuran kita kepada Alloh. Betapa bulan ini hanya datang setahun sekali! Tak ada lagi bulan seindah bulan ini. Allohu akbar.

Perhatikanlah kisa Umar bin Khottob -rodhiyallohu anhu- sebagai pengantar kita untuk beribadah dengan ikhlas, bukan semata berpuasa karena bulan puasa (Disadur dari Kitab ar-Rahiq al-Makhtum susunan Shaikh Safiyurrahman al-Mubarakfuri) :

Di saat tersiar berita bahwa Rosululloh sholallohu alayhi wasallam meninggal, Umar kemudian berkata:

"Sesungguhnya Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam tidak mati, tetapi baginda Sallallahu ‘alaihi wassalam pergi bertemu Tuhannya sebagaimana Musa bin ‘Imran yang menghilang dari kaumnya selama empat puluh hari. Kemudian dia kembali kepada kaumnya setelah orang berkata dia telah mati. Demi Alloh! Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam akan kembali dan memotong tangan dan kaki orang yang mengatakan baginda Sallallahu ‘alaihi wassalam telah mati!”. Abu Bakar Radiallahu ‘anhu bergegas pulang menuju rumah Rosululloh tatkala mendengar berita kematian Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam. Dibukanya kain yang menutupi nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam, dipeluk dan diciumnya nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam. Abu Bakar menenangkan umat.. Umar Radiallahu ‘anhu ternyata masih mengungkapkan kata-katanya tadi. Abu Bakar Radiallahu ‘anhu menenangkan Umar sambil berkata kepada Umar Radiallahu ‘anhu: “Duduklah Umar!” Tetapi Umar Radiallahu ‘anhu enggan untuk mendengar arahan Abu Bakar Radiallahu ‘anhu. Abu Bakar Radiallahu ‘anhu kemudian berkhutbah: “Siapa di antara kalian yang menyembah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wassalam (maksdunya beribadah hanya karena dorongan keberadaan Rosululloh, red), sesungguhnya Muhammad Sallallahu ‘alaihi wassalam telah mati. (Tapi) Siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Hidup dan tidak mati.” Beliau kemudian  membaca surah Ali Imran, ayat 144: Dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul yang sudahpun didahului oleh beberapa orang Rasul (yang telah mati atau terbunuh). Jika demikian, kalau ia pula mati atau terbunuh, (patutkah) kamu berbalik (berpaling tadah menjadi kafir)? Dan (ingatlah), sesiapa yang berbalik (menjadi kafir) maka ia tidak akan mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun; dan (sebaliknya) Allah akan memberi balasan pahala kepada orang-orang yang bersyukur (akan nikmat Islam yang tidak ada bandingannya itu). Para sahabat terpaku. Mereka tersadar daripada apa yang mereka sanggah. Mereka mulai sadar hakikat nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam telah meninggalkan mereka. Kata-kata Abu Bakar Radiallahu ‘anhu bersemayam di jiwa mereka yang sedang kesedihan, dan membuat mereka yakin dan percaya. “Demi Allah! Seakan-akan manusia tidak mengetahui bahwa ayat ini pernah diturunkan sehinggalah Abu Bakar membacanya. Lalu semua orang mengambil ayat itu setelah Abu Bakar membacakannya. Lantas semua orang yang mendengar ayat itu dibaca, turut membacakannya”, demikian kata Ibnu ‘Abbas Radiallahu ‘anhu. Umar Radiallahu ‘anhu yang tadi terlalu sedih hingga mengeluarkan kata-kata yang yang menggoncang akidah umat Islam, tersadar daripada kehilafannya. Ayat itu menyentap jiwanya kembali, menenangkan kembali hatinya yang sedang berkecamuk: “Demi Allah, setelah aku mendengar Abu Bakar membacakan ayat itu, aku menjadi lemah longlai sehingga tidak berdaya untuk berdiri. Akhirnya aku rebah ke bumi setelah mendengar Abu Bakar membacakannya. Maka yakinlah aku, Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam telah wafat.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun