“Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”
(Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’u Ghalil, no. 247)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357):
“Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh.”
Dikisahkan oleh Nafi’ rohimahulloh, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar rodiyallohu anhu:
“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar rodiyallohu anhu apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf)
Lihatlah pendidikan Abdulloh bin Umar ini. Apakah ini tercela? Apakah ini pelampiasan marah? Betul. Dan marah itu ada 2, ada yang diridhoi oleh Alloh dan ada yang terlarang.
Marah jenis apakah yang diekspresikan Abdulloh bin Umar? Tentunya ia adalah marah yang diridhoi oleh Alloh, legal, bukan ilegal. Karena Abdulloh bin Umar dikenal sebagai ahlul ilm (orang yang berilmu). Sampai-sampai beliau disebutkan sebagai pencontoh nabi dalam segala sisi.
Sehingga, miris kita mendengar doktrin "larangan" memukul anak, bahkan mereka mengatakan memukul akan menjadikan anak juga sebagai tukang pukul. Sama sekali tidak! Itu adalah sarana pendidikan. Yang salah adalah jika pukulan itu bukan tujuannya mendidik, tetapi ekspresi kemarahan yang tidak diridhoi Alloh.
Sudahkah para 'ahli pendidikan' itu membaca hadits-hadits dan siroh para salaf dalam mendidik anak? Tidakkah mereka lihat, pada sebagian hidup mereka ada pola pendidikan bentuk pukulan?
Lihatlah pula Ummul Mukminin ‘Aisyah rodiyllohu anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:
“Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah, maka beliau pun berkata, 'Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al Adabul Mufrad: shahihul isnad)