[caption id="attachment_224987" align="aligncenter" width="560" caption="Gedung DPR RI/Admin (KAMPRET/Harja Saputra)"][/caption] Tanpa sengaja saya membaca hasil survei terbaru LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang di rilis tanggal 17 /11/2012 tentang profesi seorang anggota DPR. Dulu menjadi legislator itu merupakan salah satu status sosial yang diinginkan masyarakat Indonesia termasuk untuk keturunannya. Saat ini menjadi legislator merupakan salah satu profesi yang justru paling tak disukai oleh masyarakat indonesia, bahkan mereka berharap anak-anaknya jangan sampai menjadi anggota DPR. Betapa mirisnya penilaian masyarakat terhadap wakil rakyat yang katanya terhormat itu. Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena pemberitaan negatif yang begitu massif berkaitan dengan perilaku legislator selama ini. Entah itu kasus skandal sex, pelesiran keluar negeri, kasus korupsi hingga kongkalikong anggaran rakyat untuk kepentingan pribadi. Sehingga banyak mereka yang harus mundur dari jabatannya sebgaai wakil rakyat, bahkan dipecat hingga masuk jeruji besi. Ruly Akbar dari LSI mengungkapkan fakta bahwa 56,43% orang tua dari total responden telah mengatakan mereka tidak menginginkan anaknya mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Sedangkan yang berkeinginan anaknya mencalonkan diri mencapai 37,62 %. Angka ini berbeda drastis dari rilisan LSI jelang pemilihan umum (pemilu) 2009. LSI telah menerapkan metode multi stage random sampling kepada 1.200 responden dengan margin error sebesar plus minus 2,9% mulai dari 12 hingga 15 November 2012. Pada survei tersebut, 59,22% dari total orang tua ingin anaknya mencalonkan diri sebagai anggota DPR, sedangkan yang tidak berkeinginan anaknya mencalonkan diri sebagai anggota parlemen mencapai 31,32%. Selain daripada beragam kasus yang menimpa anggota DPR tersebut termasuk yang terjadi di berbagai tingkatannya, peran media juga telah membuat image tentang profesi anggota DPR ini terjerembab. Beberapa figur anggota DPR dalam setiap acara yang disiarkan langsung secara live atau wawancara tapping seringkali terlihat "pikasebeleun". Mereka terkesan angkuh, sombong dan arogan. Kayaknya mereka pemilik republik ini yang bisa mereka atur seenaknya sesuai pikiran mereka. Politik bunyi-bunyian mereka setiap ada kasus atau permasalahan terkesan tak beretika, menang-menangan, dan sekaan pendapatnya paling benar. Mereka membela habis-habisan setiap muncul kasus negatif tentang rumah tangganya sendiri di internal DPR, mereka menyerang pihak lain entah itu dari eksekutif, LSM atau penegak hukum (KPK) dengan berlindung dibalik hal imunitas mereka. Tapi kesan yang mereka timbulkan dari cara komunikasi mereka sangat menyebalkan dimata rakyat. Itulah, ketika setiap gerak gerik mereka secara terang benderang hadir melalui layar kaca di setiap rumah rakyat Indonesia, persepsi yang terbangun tentang mereka juga masuk ke memory rakyat. Saat ini yang gagah perkasa sebagai kekuatan keempat pilar demokrasi adalah media. Baik cetak maupun elektronik serta sosial. Oleh karenanya, semoga fenomena ini semakin menyadarkan para wakil rakyat kita untuk menempatkan dirinya bukan sebagai "pejabat negara" yang mentalitasnya pejabat. Tapi mereka harus menjadi sejatinya wakil rakyat yang melayani rakyat dengan baik dan benar sesuai dengan keinginan dan harapan rakyat yang memilihnya. Karena keadaan seperti ini (Rontoknya penilaian masyarakat tentang profesi DPR) sangat merugikan bagi pembangunan demokrasi di republik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H