Mohon tunggu...
Usman Kusmana
Usman Kusmana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki. Menulis juga merangkai mozaik sejarah hidup, merekam hikmah dari pendengaran dan penglihatan. Menulis mempengaruhi dan dipengaruhi sudut pandang, selain ketajaman olah fikir dan rasa. Menulis Memberi manfaat, paling tidak untuk mengekspresikan kegalauan hati dan fikir. Menulis membuat mata dan hati senantiasa terjaga, selain itu memaksa jemari untuk terus bergerak lincah. Menari. Segemulainya ide yang terus meliuk dalam setiap tarikan nafas. Menulis, Membuat sejarah. Yang kelak akan dibaca, Oleh siapapun yang nanti masih menikmati hidup. Hingga akhirnya Bumi tak lagi berkenan untuk ditinggali....

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Orangtua Sekarang Tak Menginginkan Anaknya Menjadi Anggota DPR

21 November 2012   05:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:57 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13534837621586494679

[caption id="attachment_224987" align="aligncenter" width="560" caption="Gedung DPR RI/Admin (KAMPRET/Harja Saputra)"][/caption] Tanpa sengaja saya membaca hasil survei terbaru LSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang di rilis tanggal 17 /11/2012 tentang profesi seorang anggota DPR.  Dulu menjadi legislator itu merupakan salah satu status sosial yang diinginkan masyarakat Indonesia termasuk untuk keturunannya. Saat ini menjadi legislator merupakan salah satu profesi yang justru paling tak disukai oleh masyarakat indonesia, bahkan mereka berharap anak-anaknya jangan sampai menjadi anggota DPR. Betapa mirisnya penilaian masyarakat terhadap wakil rakyat yang katanya terhormat itu. Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena pemberitaan negatif yang begitu massif berkaitan dengan perilaku legislator selama ini. Entah itu kasus skandal sex, pelesiran keluar negeri, kasus korupsi hingga kongkalikong anggaran rakyat untuk kepentingan pribadi. Sehingga banyak mereka yang harus mundur dari jabatannya sebgaai wakil rakyat, bahkan dipecat hingga masuk jeruji besi. Ruly Akbar dari LSI mengungkapkan fakta bahwa 56,43% orang tua dari total responden telah mengatakan mereka tidak menginginkan anaknya mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Sedangkan yang berkeinginan anaknya mencalonkan diri mencapai 37,62 %. Angka ini berbeda drastis dari rilisan LSI jelang pemilihan umum (pemilu) 2009. LSI telah menerapkan metode multi stage random sampling kepada 1.200 responden dengan margin error sebesar plus minus 2,9% mulai dari 12 hingga 15 November 2012. Pada survei tersebut, 59,22% dari total orang tua ingin anaknya mencalonkan diri sebagai anggota DPR, sedangkan yang tidak berkeinginan anaknya mencalonkan diri sebagai anggota parlemen mencapai 31,32%. Selain daripada beragam kasus yang menimpa anggota DPR tersebut termasuk yang terjadi di berbagai tingkatannya, peran media juga telah membuat image tentang profesi anggota DPR ini terjerembab. Beberapa figur anggota DPR dalam setiap acara yang disiarkan langsung secara live atau wawancara tapping seringkali terlihat "pikasebeleun". Mereka terkesan angkuh, sombong dan arogan. Kayaknya mereka pemilik republik ini yang bisa mereka atur seenaknya sesuai pikiran mereka. Politik bunyi-bunyian mereka setiap ada kasus atau permasalahan terkesan tak beretika, menang-menangan, dan sekaan pendapatnya paling benar. Mereka membela habis-habisan setiap muncul kasus negatif tentang rumah tangganya sendiri di internal DPR, mereka menyerang pihak lain entah itu dari eksekutif, LSM atau penegak hukum (KPK) dengan berlindung dibalik hal imunitas mereka. Tapi kesan yang mereka timbulkan dari cara komunikasi mereka sangat menyebalkan dimata rakyat. Itulah, ketika setiap gerak gerik mereka secara terang benderang hadir melalui layar kaca di setiap rumah rakyat Indonesia, persepsi yang terbangun tentang mereka juga masuk ke memory rakyat. Saat ini yang gagah perkasa sebagai kekuatan keempat pilar demokrasi adalah media. Baik cetak maupun elektronik serta sosial. Oleh karenanya, semoga fenomena ini semakin menyadarkan para wakil rakyat kita untuk menempatkan dirinya bukan  sebagai "pejabat negara" yang mentalitasnya pejabat. Tapi mereka harus menjadi sejatinya wakil rakyat yang melayani rakyat dengan baik dan benar sesuai dengan keinginan dan harapan rakyat yang memilihnya. Karena keadaan seperti ini (Rontoknya penilaian masyarakat tentang profesi DPR) sangat merugikan bagi pembangunan demokrasi di republik ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun