Mohon tunggu...
Usman Kusmana
Usman Kusmana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki. Menulis juga merangkai mozaik sejarah hidup, merekam hikmah dari pendengaran dan penglihatan. Menulis mempengaruhi dan dipengaruhi sudut pandang, selain ketajaman olah fikir dan rasa. Menulis Memberi manfaat, paling tidak untuk mengekspresikan kegalauan hati dan fikir. Menulis membuat mata dan hati senantiasa terjaga, selain itu memaksa jemari untuk terus bergerak lincah. Menari. Segemulainya ide yang terus meliuk dalam setiap tarikan nafas. Menulis, Membuat sejarah. Yang kelak akan dibaca, Oleh siapapun yang nanti masih menikmati hidup. Hingga akhirnya Bumi tak lagi berkenan untuk ditinggali....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Kampung Pun Bedug Kalah Sama Kembang Api

11 Agustus 2012   11:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:56 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suasana Ramadhan di Kampung dengan di kota tentu berbeda. Di Kampung biasanya lebih tenang, khusyu dan semarak dengan berbagai kegiatan ibadah ramadhan.

Tapi perkembangan modernisme, masuknya layar kaca ke setiap rumah warga, telah sedikit merubah gaya dan budaya mereka, terutama kalangan ank-anak, remaja dan pemuda. Terutama boleh jadi disebabkan pula oleh faktor mobilitas ekonomi dan pergaulan dari urbanisasi warga kampung ke kota.

Jika dulu bedug menjadi alat budaya yang menghangatkan suasana malam di bulan ramadhan, termasuk jika mendekati malam lebarn, maka kini sebelum takbir berkumandang, dari kejauhan saya mendengar suara-suara ledakan serta kilatan cahaya ke atas dari kembang api yang mulai di nyalakan warga.

Di kampung saya sendiri fenomena kembang api ini sudah mulai ramai dan bersahut-sahutan. Tak ada suara bedug. Yang ada kembang api. Sementara kembang api yang besar satu saja harganya berada pada kisaran 50-150 ribu. Ada tetangga saya yang sampai mempersiapkan kembang api sebanyak kardusan hingga mencapai harga jutaan.

Mereka sepertinya punya kebanggaan tersendiri ketika mampu membeli kembang api dan menyalakannya di kampung. Meskipun harus mengeluarkan uang jutaan. Padahal belum tentu mereka menjalani ibadah ramadhannya dengan maksimal. Selain itu nilai dan semangat ibadah puasa di bulan Ramadhan sejatinya adalah kehalusan hati untuk berkenan lebih peduli dan mau berbagi pada mereka yang miskin papa dan tak berdaya untuk merasakan kegembiraan si penghujung ramadhannya.

Kembang api menjadi pergeseran budaya dan ekonomi yang melanda kampung dan desa. Apalagi jika malam takbir tiba. Hampir di semua arah wilayah, langit menyala dan suara-suara ledakan terus membahana.

Inilah fenomena hari ini. Semangat dan nilai Ramadhan hanya berhenti semata bergembira saat sampai di penghujung, dan melampiaskannya dengan membuat kegaduhan dan hura-hura menghamburkan uang dalam keriuhrendahan suara kembang api..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun