Siapa bilang kewajiban memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) itu hanya untuk bos perusahaan atau pabrik atau yang bekerja di rumah kita. Kalangan politisi juga biasanya suka dibuat pusing untuk memenuhi THR bagi kalangan internalnya.Dan itu nilainya ternyata tidaklah sedikit
Biasanya, mereka yang menerima THR itu adalah mereka dari jaringan pengurus partai yang ada di daerah pemilihannya, atau tim relawan yang membantu pencalonannya dulu, atau kalangan tokoh ulama atau tokoh masyarakat yang diyakininya bagian dari kekuatan yang mengantarkan dirinya jadi anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten, Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya.
Macam ragam gaya bagi-bagi THR para politisi dan pejabat politik tersebut. Ada yang membagikan kain sarung saja plus kartu lebaran, ada juga yang membagikan pakaian koko. Membagikan amplop antara 50-100 ribu.
Bagi anggota DPR RI, moment bagi-bagi THR itu dilakukan biasanya sambil berbuka puasa bersama dan diberi judul reses. Tapi ada juga yang tetep membagikannya secara langsung menjelang hari-H lebaran, begitu juga anggota DPRD Provinsi. Mungkin yang sedikit beda mereka yang duduk di DPRD Kabupaten/Kota, mereka biasanya paling diserbu oleh konstituen yang menjadi tim atau relawannya saat pencalonan dulu.
Nah sedikit beda jika THR dari kalangan Pejabat Politik, saya tidak mengenal persis bagaimana gaya presiden, atau gubernur. Tapi kalau Bupati/walikota dan wakilnya punya mekanisme tersendiri dalam berbagi THR bagi kalangan internalnya. Biasanya THR itu di design oleh kalangan birokrasi yang berhubungan dengan kemasyarakatan (bagian kesra).
Daftaran yang harus diberi THR dari Bupati/Walikota, Wakil, Sekda di gabung, biasanya mencakup tokoh ulama tingkat kabupaten/kota, tingkat kecamatan, dan tingkat kelurahan/desa. Unsur pemerintahan mulai dinas, camat hingga Kepala Desa/lurah, RW, RT. Lalu tokoh masyarakat mulai tingkat kabupaten/kota, kecamatan hingga tingkat kelurahan/desa, pimpinan ormas dan okp, jaringan struktural partai di tingkat kabupaten/kota/kecamatan sampai kelurahan/desa juga.
Lalu opd terkait mempersiapkan kebutuhannya yang include dalam anggaran kegiatan ramadhan didalamnya, menyediakan kain sarung dari yang kualifikasi paling sederhana hingga paling mahal seharga 500 ribua sebuah. Bagian umum menyediakan percetakan kartu lebaran untuk Gubernur/Bupati/Walikota dan wakilnya berikut sekdanya, dengan jumlah sesuai permintaan internal mereka.
Kemudian dirancang model THR yang akan diberikannya, siapa yang diberi Amplop (berisi uang tentunya antara Rp. 100-2,5 jt), cukup sarung, amplop plus sarung, yang tentunya disertai kartu ucapan lebaran dari pejabat politik yang bersangkutan sesuai daftarannya masing-masing. Biasanya penerima THR dari Bupati/Walikota lebih luas jangkauannya, karena secara alokasi anggaran juga lebih besar. Apalagi jika menjelang pelaksanaan Pilgub/Pilkada maka dipastikan pemberian THR atau judul bingkisan lebaran akan sangat massif hingga tingkat RT.
Begitulah bagi-bagi THR ala politisi dan pejabat politik, jika mereka tak melakukan itu, mereka merasa akan dinilai pelit, dan tak ada perhatiannya pada para pihak yang telah banyak membantu menghantarkan mereka duduk dalam jabatan politik tersebut. Itulah salah satu dampak ikutan model pilkada langsung, selalu ada sisi-sisi transaksional yang dalam implementasinya pasti akan menyedot anggaran negara.
Lalu bagaimana para pejabat politik (Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya) mendapatkan THR ?. Dalam media boleh saja mereka teriak-teriak tidak boleh menerima bingkisan lebaran entah itu parcel dan sejenisnya, baik dari bawahan maupun kalangan pengusaha, karena hal itu dikhawatirkan berhubungan dengan posisi jabatan dan kepentingan yang berhubungan dengan pekerjaan.Tapi dalam prakteknya tetap saja mereka menerimanya.
Kalangan OPD tentu ingin mendapatkan nilai dari bosnya, menjelang lebaran mereka biasanya sowan, menghadap ke ruang kerja atau datang ke rumah dinas sambil membawa amplop tebal. Setor THR. Atau kalau tidak begitu, dititipkan pada Ajudan, Sekpri pejabat tersebut. Termasuk dari kangan pengusaha atau kontraktor juga lebih memilih hal yang praktis begitu. Agar jabatan aman dan proyek selalu kebagian.
Pejabat itu bagi-bagi THR dengan anggaran rakyat, tapi dia sendiri mendapatkan banyak THR dalam bentuk yang lain. Itulah kiranya salah satu alasan mengapa mereka berlomba-lomba menjadi pejabat politik, menginginkan jabatan entah sebagai Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya. Tapi pola diatas lebih nyata terlihat dalam lingkup pejabat politik di tingkat Kabupaten/Kota. Karena posisi mereka lebih dekat dan banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H