Sementara Ajengan di kampong saya lain lagi, dia diberi wakaf tanah oleh masyarakat, dibangunkan rumah dan madrasah, didirikan pesantren, ada masjid di tengah kampong. Awalnya biasa mengajari ngaji anak-anak, bahkan ada santri dari luar, biasa mengisi khutbah dan pengajian majlis taklim. Tapi semenjak menjadi ketua partai tingkat kecamatan, sibuk dengan aktifitas politik berikut segala godaan fasilitasnya, aktifitas awalnya sebagai ajengan berhenti.
Beliau tak lagi sempat ke mesjid, tak lagi mengajari anak-anak, tak lagi mengisi khutbah Jum’at dan berceramah di majlis taklim ibu-ibu. Bangunan madrasah yang berdempet dengan rumahnya sudah diratakan tanah. Simpelnya nama lembaga pesantrennya juga hilang. Yang tersisa hanya bangunan rumah yang menjadi tempat tinggalnya.
Sungguh miris dan menyedihkan. Ummat meninggalkannya, masyarakat yang sudah susah payah menyediakan tanah wakaf untuk pengembangan agama Islam dan mendidik anak-anak menjadi muspra, tak berarti lagi. Entah bagaimana Ajengan itu akan mempertanggungjawabkan amanah urusan wakaf dari ummat, dan terutama mempertanggungjawabkan amanah dari Tuhan dan Rasulullah sebagai orang yang menuliskan kata di depan namanya dengan sebutan Ajengan. Naudzubillah.***
Kaki Gununggalunggung, 29 April 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H