Mohon tunggu...
Usman Kusmana
Usman Kusmana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki. Menulis juga merangkai mozaik sejarah hidup, merekam hikmah dari pendengaran dan penglihatan. Menulis mempengaruhi dan dipengaruhi sudut pandang, selain ketajaman olah fikir dan rasa. Menulis Memberi manfaat, paling tidak untuk mengekspresikan kegalauan hati dan fikir. Menulis membuat mata dan hati senantiasa terjaga, selain itu memaksa jemari untuk terus bergerak lincah. Menari. Segemulainya ide yang terus meliuk dalam setiap tarikan nafas. Menulis, Membuat sejarah. Yang kelak akan dibaca, Oleh siapapun yang nanti masih menikmati hidup. Hingga akhirnya Bumi tak lagi berkenan untuk ditinggali....

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Apakah Menjadi PNS Itu Zona Nyaman?

29 Maret 2012   02:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:20 1934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_178973" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com)"][/caption]

Sebenarnya saya agak berat untuk menayangkan tulisan ini dalam blog publik seperti Kompasiana ini, tapi setelah dipikir-pikir, dibolak balik, akhirnya saya memutuskan untuk mempostingnya juga,  dengan pertimbangan, siapa tahu pengalaman ini dapat memberi inspirasi dan kemanfaatan bagi para sahabat Kompasiana dimanapun berada.

Saya adalah seorang yang lahir dan besar dalam lingkungan keluarga miskin, dengan jumlah saudara adik kakak sebanyak 9 orang.  Empat laki-laki dan lima perempuan. Banyak peristiwa masa kecil yang kami lalui bersama dengan penuh keprihatinan, kepedihan dan keserbakekurangan. Orang tua kami sering mendapatkan hinaan, cacian dan cemoohan, dari orang kampung yang mungkin secara ekonomi lebih kaya bahkan termasuk paling kaya, mereka rata-rata bekerja sebagai petani dengan sawah yang luas, tukang bangunan yang proyek pekerjaannya tak habis-habis, hingga PNS.

Waktu itu ada diantara mereka yang menjadi sentralnya, beliau salah satu tokoh masyarakat dengan kekuatan ekonomi yang kuat, bekerja di salah satu BUMN urusan bahan peledak, dan menjadi tetua dikampung dalam segala hal, termasuk urusan politik. Siapapun yang tak mengikuti telunjuknya, akan mendapatkan semprotan keras dan caci makinya hingga diboikot dari segala aktifitas yang disponsorinya.

Ayah kami memang bukanlah tipikal orang yang senang menanggapi dengan banyak bicara, dia hanya menyikapinya dengan terus memotivasi anak-anaknya supaya menuntut ilmu, baik ilmu agama di madrasah, pesantren maupun sekolah umum. Akhirnya beberapa, termasuk saya menamatkan pendidikan hingga SMA sambil mondok di salah satu pesantren di pinggiran Kota. Padahal secara ekonomi keluarga sangatlah morat-marit, dengan hanya mengandalkan penghasilan dari gaji PNS golongan I sebagai penjaga sekolah dasar ditambah siang sampai malam harinya mengayuh becak di Kota.

Oleh karenanya kehidupan keluarga kami sangat akrab dengan situasi susah dan sulit. Bertahan dengan pola gali lobang tutup lobang, yang penting kami bisa makan dengan lauk alakadarnya secara rame-rame, bisa berangkat ke pondok dan ke sekolah. Hampir semua anak laki-laki dari keluarga kami menamatkan kuliah dan meraih gelar S-1 dengan cara bertahannya masing-masing. Kakak saya yang paling besar menamatkan Aliyah dan kuliahnya dengan juga menjadi penarik becak lebih dari 5 tahun dia menjalankan profesi itu untuk mendapatkan bekal dan biayakuliahnya.

Kini dia terjun sebagai politisi, dan menjadi Ketua salah satu partai tingkat Kota saya, dan pernah menjadi anggota DPRD. Saya sendiri menyelesaikan study di Jakarta dengan mencoba berbagai profesi, yang penting menghasilkan uang untuk bertahan. Jadi cleaning service gedung, pelayan restoran, guru private, hingga guru honor di SD (saya sudah menuliskannya dalam postingan terdahulu di Kompasiana), begitu juga cerita adik saya yang sejak kelas 3 SD hingga SMP kelas 2 menjadi pedagang surabi keliling dan berbagai barang dagangan lainnya, hingga akhirnya diterima kuliah di STAN dan menjadi seorang pegawai bea cukai di Semarang.

Saya sendiri sebenarnya sudah diterima sebagai PNS di pemerintah daerah tempat kelahiran saya, setahun setelah saya pulang dari Jakarta, meskipun tak nyambung dengan disiplin ilmu saya yang lulus dari jurusan bahasa dan sastra Arab. Awalnya saya di tempatkan di salah satu Kecamatan di ujung timur Tasikmalaya, setahun kemudian pindah ke kecamatan sebelah barat tepatnya di Sukahening (ingat tulisan saya tentang Kiarajangkung Kampung Milyarder WC Umum ? ), dan setahun kemudian setelah proses Pilkada pertama kali di Tasikmalaya saya diminta oleh wakil bupati terpilih untuk membantunya sebagai salah seorang Sekretaris Pribadinya.

Pengalaman selama 5 tahun mendampingi beliaulah yang membuat saya merubah jalan hidup pada akhirnya. Apa yang dilihat, dirasakan, dialami selama itu, membuat bathin saya memberontak. Bos saya yang memang orang yang shaleh secara moral, lurus menjalankan tugas selama menjadi wakil bupati, mengalami berbagai ketidakadilan dan kedzaliman, dan tentu sebagai orang yang paling dekat dengan beliau, yang membantu berbagai kebutuhan untuk memperlancar tugas beliau menyangkut konsep, administrasi, keuangan dan alur komunikasi serta koordinasi yang diperlukan dalam menunjang kelancaran tugasnya, saya pun otomatis terkena imbasnya.

Selama mendampingi beliau, saya mencoba menerapkan prinsip-prinsip yang diyakini selama saya menjadi seorang aktifis kemahasiswaan dan LSM di Jakarta. Dan hal itu ternyata sangat nyambung dengan pola dan gaya kepemimpinan beliau sebagai wakil kepala daerah, meskipun harus dihadapkan pada satu kenyataan yang bertolak belakang dengan gaya dan model kepemimpinan Kepala Daerahnya, yang sudah sedemikian systemized semenjak periode pertama kepemimpinannya. Beliau begitu sangat powerfull dan mapan dalam hal mengatur jalannya pemerintahan sekehandak dirinya, Dia seakan menjadi dewa kekuasaan politik yang tak mampu diimbangi oleh kekuatan politik manapun, baik legislative, eksekutif, yudikatif, hingga kalangan aktifis LSM dan media sekalipun.

Sebagai wakil, beliau tentu merasakan sebagaimana umumnya diberitakan oleh berbagai media, selalu ditempatkan sebagai ban serep saja, tak diberikan kewenangan yang proporsional jika sudah menyangkut hal-hal yang strategis, meskipun atas nama idealitas konsep tata kelola pemerintahan. Seperti dalam hal mutasi dan penempatan jabatan eselon, program pembangunan, dll. Praktek-praktek yang kurang elok dan tak terpuji sebagaimana dipahami sebagai patologi birokrasi dan politik sangatlah kentara, tapi semuanya sudah seperti on system dan by design, dengan level pengamanan yang sudah klik dengan berbagai jejaring aparat penegak hukum pada berbagai tingkatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun