Suatu malam, di tengah sunyi malam desa Suka damai, Kusno, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, terjaga dari tidurnya. Suara gerisik daun kelapa di luar jendela seakan mengingatkannya pada kisah heroik yang kerap didengar dari mulut para tetua. Dalam benaknya, terbayang wajah ayahnya, seorang pejuang kemerdekaan, yang selalu menekankan pentingnya keberanian dan kejujuran, serta menjunjung tinggi prinsip non-kekerasan.
Sejak kecil, Kusno dibesarkan dalam naungan cerita-cerita tentang perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan. Namun kini, setelah Indonesia merdeka, dia merasa bahwa perjuangan itu belum sepenuhnya selesai. Ia melihat ketidakadilan yang masih melanda masyarakat, hasil dari penjajahan yang baru berpindah bentuk. Korupsi dan penindasan oleh pihak tertentu semakin merajalela. Kusno tahu bahwa suara rakyat harus didengar dan kebenaran harus diperjuangkan, dengan cara yang damai.
Suatu siang, saat duduk di bawah pohon beringin, Kusno mendengar keributan di pasar. Dengan cepat, ia berlari menuju kerumunan, menemukan sekelompok orang yang sedang berdiskusi serius, dengan emosi yang membara. Mereka adalah petani yang mengeluh tentang subsidi yang tidak pernah dicairkan oleh pemerintah. Kulit mereka yang terbakar matahari menggambarkan kerasnya hidup di ladang, tetapi semangat mereka tidak padam.
Kusno merasakan adanya panggilan yang kuat dalam hatinya. "Saya akan membantu mereka," pikirnya, "dengan cara yang damai." Ia mulai berbicara kepada para petani tersebut, menggugah semangat mereka agar bersatu. Dengan setiap kata yang dilontarkan, Kusno mengajak mereka untuk mengorganisir sebuah aksi damai. Ia membagikan selebaran yang berisi tuntutan mereka agar pemerintah segera memperhatikan nasib petani.
Hari yang ditunggu pun tiba. Kusno memimpin ribuan petani berkumpul di alun-alun kota, membawa spanduk dan poster yang berisi aspirasi mereka. Masyarakat lainnya ikut bergabung, menyatakan dukungan terhadap gerakan damai ini. "Satya Graha!" teriaknya, menggetarkan hati semua yang hadir. "Kita adalah satu! Mari kita tunjukkan bahwa kita menuntut keadilan tanpa kekerasan!"
Kehadiran mereka menarik perhatian media, dan perlahan-lahan, berita tersebut menyebar ke seluruh negeri. Kusno menjadi simbol harapan bagi banyak orang, dan gerakannya menarik simpati dari berbagai kalangan. Namun, di balik sorotan yang didapat, ada tantangan yang harus dihadapi. Beberapa pihak tidak senang dengan aksi damai ini, merasa terancam oleh perubahan.
Suatu malam, ketika Kusno kembali dari rapat persiapan, ia disergap oleh sekelompok orang misterius. Dengan intimidasi dan ancaman, mereka berusaha menghalanginya. Namun, Kusno tetap teguh pada prinsipnya; dia tidak akan menggunakan kekerasan, bahkan ketika berada dalam situasi berbahaya. "Kami bukan musuh! Kami hanya ingin suara kami didengar!" teriaknya sambil berdiri tegak.
Akhirnya, setelah melalui berbagai ancaman dan tekanan, pemerintah setempat mulai mengakomodasi tuntutan petani. Subsidi yang dijanjikan mulai dicairkan, dan dialog antara pemerintah dan masyarakat dibuka. Kusno tidak pernah menyangka bahwa langkah kecilnya bisa membuahkan hasil.
Ketika petani menerima bantuan di lapangan, air mata haru bercucuran di pipi mereka. Kusno berdiri di salah satu sisi, menyaksikan kebahagiaan itu. Ia sadar bahwa meskipun ini adalah kemenangan kecil, perjuangan yang sesungguhnya adalah menjaga agar keadilan dan kebenaran tetap terjaga.
Dengan hati yang penuh syukur, Kusno berjanji pada dirinya sendiri akan terus berjuang demi kepentingan rakyat, mengingat ajaran ayahnya tentang pentingnya kebaikan dan kejujuran. "Satya Graha," bisiknya pelan, "adalah jalan kita menuju masa depan yang lebih baik."
Dan di bawah langit biru Suka damai, Kusno terus berjalan, membawa harapan dan cinta untuk bangsa yang dicintainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H