Embrio berkembang dari zigot yang terbentuk dari hasil pembuahan sel telur oleh sperma. Ketika embrio berkembang dari sel telur tanpa ada campur tangan sperma, maka proses ini disebut partenogenesis. Istilah partenogenesis berasal dari Bahasa Latin, parthenos yang artinya virgin atau perawan dan genesis yang artinya pembentukan, sehingga parthenogenesis dikenal juga dengan "virgin births".
Parthenogenesis jarang terjadi secara alami pada manusia dan hewan menyusui (mamalia), tetapi merupakan kejadian normal pada serangga (lebah), serta dapat terjadi pada beberapa jenis ikan, dan reptilia. Kelahiran melalui fenomena parthenogenesis telah dilaporkan pada ular phyton [1], ikan hiu [2], kadal Komodo [3].
Bayi pada mamalia hampir mustahil bisa lahir melalui proses partenogenesis ini. Tulisan ini ingin mengajak anda untuk melihat bagaimana parthenogenesis bisa terjadi pada beberapa jenis hewan, mengapa embrio partenogenesis pada mamalia tidak bisa berkembang sampai lahir, dan adakah kemungkinan bayi mamalia bisa lahir tanpa peran sperma sama sekali?
Sel telur mengalami proses pematangan inti melalui proses pembelahan meiosis. Pembelahan meiosis ini menyebabkan pengurangan kromosom dari 2n menjadi n melalui dua kali pembelahan meiosis. Pembelahan sitoplasma terjadi secara tidak sama, yaitu sel telur dengan seluruh sitoplasma dan badan polar yang tidak memperoleh sitoplasma. Baik sel telur dan badan polar berada dalam selubung yang disebut zona pelusida.
Partenogenesis dapat terjadi ketika badan polar bercampur dengan sel telur, sehingga keduanya membentuk zigot dengan jumlah kromosom 2n (Gambar). Selanjutnya zigot ini akan berkembang menjadi embrio dan menghasilkan anak yang lahir. Semua anak hasil partenogenesis akan memiliki jenis kelamin yang sama, semua jantan atau semua betina, tergantung jenis hewannya.
Sebagai contoh, pada ikan hiu zebra yang dilaporkan mengalami kelahiran parthenogenesis, anak yang dilahirkan berjenis kelamin sama dengan ibunya, yaitu betina [2]. Pada ikan hiu, jantan memiliki kromosom XY dan betina XX. Oleh karena itu, semua sel telur dan badan polar yang dihasilkan memiliki kromosom X. Akibatnya ketika sel telur bercampur dengan badan polar, maka otomatis zigot yang terbentuk dari proses partenogenesis ini akan berjenis kelamin betina.
Contoh yang berbeda dapat kita lihat pada komodo [3]. Kadal raksasa primitif yang hanya ada di Indonesia ini, jika mengalami partenogenesis, maka anak yang menetas semuanya kan berjenis kelamin jantan. Komodo memiliki sistem kelamin yang berbeda, yaitu ZW untuk betina dan ZZ untuk jantan. Partenogenesis pada komodo terjadi akibat penggabungan dua sel telur, oleh karena itu kromosom embrio partenogenesis hanya bisa ZZ atau WW saja. Karena embrio WW bersifat letal (mati) maka hanya embrio ZZ saja yang bisa lahir dan semua akan berjenis kelamin jantan.
Partenogenesis merupakan cara hewan beradaptasi ketika perkawinan alami tidak mungkin terjadi dan kelangsungan spesiesnya terancam. Hewan-hewan ini merubah perkawinan dari seksual menjadi aseksual. Pada kasus ikan hiu zebra, ketika betina sendirian dan tidak berhasil menemukan jantan, maka ia melakukan parthenogenesis untuk menghasilkan anak betina yang akan meneruskan genetiknya sampai si anak dewasa dan bisa menemukan jantan untuk melakukan perkawinan. Pada kasus Komodo, ketika populasi hanya diisi oleh kelompok betina saja, maka komodo betina bisa menghasilkan anak jantan melalui partenogenesis untuk mempertahankan keberadaan populasinya.
Berbeda dengan ikan dan kadal, hewan mamalia termasuk manusia sangat jarang mengalami partenogenesis. Parthenogenesis spontan (alamiah) atau hasil induksi buatan in vitro pada mamalia telah dilaporkan, tetapi semuanya mengalami gagal lahir. Gagal lahir kebanyakan terjadi akibat embrio mengalami keguguran (abortus) setelah proses implantasi. Keguguran terjadi akibat kegagalan perkembangan plasenta.
Telah diketahui bahwa pronukleus jantan yang berasal dari sperma berperan dalam perkembangan plasenta. Embrio yang berkembang hanya dari dua pronukleus betina (berasal dari sel telur dan badan polar) mengalami perkembangan plasenta yang abnormal, karena tidak memiliki genetik yang bersumber dari pronukleus jantan. Akibatnya, meski embrio berkembang normal, tetapi plasenta tidak berkembang normal menyebabkan embrio mengalami keguguran.
Fenomena perkembangan normal embrio membutuh genetik yang berasal dari ibu (sel telur) dan dari ayah (sperma). Meskipun setiap gen memiliki pasangan alel yang homolog dari gen ayah dan gen ibu, akan tetapi selama proses perkembangan gamet dan embrio, ekspresi kedua gen ini berbeda. Perbedaan ekspresi gen yang berasal dari tetua yang mana ditentukan oleh mekanisme genomic imprinting.
Genomic imprinting merupakan fenomena epigenetik yang menyebabkan gen terekspresi atau tidak, bergantung pada apakah gen tersebut diwarisi dari ibu atau ayah. Beberapa gen yang berperan dalam perkembangan plasenta hanya aktif dari gen asal ayah saja, sementara gen yang homolog asal ibu mengalami inaktif. Dengan demikian, ketika embrio partenogenesis hanya memiliki gen asal ibu saja, maka gen-gen yang aktif hanya dari gen asal ayah, menjadi tidak tersedia. Beberapa gen untuk perkembangan plasenta yang aktif hanya gen asal ayah sehingga perkembangan plasenta menjadi abnormal. Hal ini yang menyebabkan embrio partenogenesis tanpa sperma pada mamalia tidak mungkin berkembang sampai lahir.
Penelitian tahun 2022 oleh Wei dkk. [4] berhasil mengatasi hambatan dari fenomena genomic imprinting pada perkembangan embrio partenogenesis. Para peneliti tersebut menulis ulang (mengedit) tujuh daerah pengatur imprinting. Dengan mengedit ulang daerah pengatur ini, para peneliti ini berhasil menunjukkan perkembangan normal embrio partenogenesis hingga lahir.
Bekerja dengan mencit sebagai salah satu jenis mamalia, penelitian ini menunjukkan bayi asal partenogenesis dari hewan mamalia dapat berkembang hingga lahir tanpa peran sperma.
Referensi:
[1] Groot, T. V., Bruins, E., & Breeuwer, J. A. (2003). Molecular genetic evidence for parthenogenesis in the Burmese python, Python molurus bivittatus. Heredity, 90(2), 130--135. https://doi.org/10.1038/sj.hdy.6800210 Â
[2] Dudgeon, C. L., Coulton, L., Bone, R., Ovenden, J. R., & Thomas, S. (2017). Switch from sexual to parthenogenetic reproduction in a zebra shark. Scientific reports, 7, 40537. https://doi.org/10.1038/srep40537
[3] Watts, P. C., Buley, K. R., Sanderson, S., Boardman, W., Ciofi, C., & Gibson, R. (2006). Parthenogenesis in Komodo dragons. Nature, 444(7122), 1021--1022. https://doi.org/10.1038/4441021a
[4] Wei, Y., Yang, C. R., & Zhao, Z. A. (2022). Viable offspring derived from single unfertilized mammalian oocytes. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 119(12), e2115248119. https://doi.org/10.1073/pnas.2115248119
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H