Mohon tunggu...
Dian Ashari
Dian Ashari Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Just a student - Information System - Gunadarma University 2012

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ruang Terbuka Hijau yang Tak Lagi Menghijau

30 September 2015   22:11 Diperbarui: 30 September 2015   22:11 3132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan Semanggi, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan"][/caption]

Better parks, better citizens.

Kokohnya dan tingginya gedung-gedung pencakar langit di ibukota semakin perkasa. Lahan-lahan nan hijau terpaksa bertekuk lutut di depan megahnya gedung-gedung. Hampir tak ada sejengkal jari pun tersisa untuk membuat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di ibukota. RTH harus kehilangan “hijaunya” karena keinginan dan keserakahan manusia.

Pertambahan jumlah penduduk yang semakin masif di ibukota Jakarta mengakibatkan terjadinya densifikasi penduduk dan permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota. Hal ini menyebabkan kebutuhan ruang meningkat untuk mengakomodasi kepentingannya. Semakin meningkatkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman, perkantoran, area bisnis, dan lahan terbangun berdampak kepada semakin merosotnya kualitas lingkungan. Rencana Tata Ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehinga keberadaan RTH semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas.

Permasalahan utama keberadaan RTH adalah semakin berkurangnya RTH karena keterbatasan lahan dan ketidakkonsistenan dalam menerapkan kebijakan dan pengelolaan tata ruang itu sendiri. Penyebab utamanya adalah konversi lahan atau beralihfungsinya lahan hijau untuk peruntukkan ruang lain.

Ruang Terbuka Hijau menyokong kehidupan kota. Lokasi-lokasi ini berfungsi menyaring polusi kendaraan bermotor dan menyerap kelebihan air di musim hujan menjadi air tanah. Dari Pantauan citra satelit (2009) diketahui Jakarta masih menyimpan potensi RTH sebesar 23,58%. Sementara luas RTH Publik Jakarta baru mencapai 10% masih jauh dari batas minimal tata ruang kota (UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang) yaitu 20% untuk RTH Publik dan 10% untuk RTH Privat. Hal ini disebabkan RTH dan lahan basah, taman terbuka, dan rawa-rawa diubah menjadi perumahan, pusat perbelanjaan, dan kawasan industri. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berkomitmen untuk melakukan perluasan RTH secara fisik. Namun pada saat yang bersamaan perlu pula ditingkatkan public value ruang-ruang tersebut sehingga benar-benar menjadi ruang yang dinamis.

[caption caption="Kurangnya Ruang Terbuka Hijau di Jakarta membuat anak-anak bermain di areal tanah kosong. (Sumber: Hiddenpark.com)"]

[/caption]

Makna Penting Ruang Terbuka Hijau

Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTH merupakan area memanjang atau jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka sebagai tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah ataupun sengaja ditanam. Keberadaan RTH merupakan salah satu unsur penting dalam membentuk sebuah lingkungan kota yang nyaman dan sehat.

Sesungguhnya fungsi RTH bertujuan agar ketersediaan lahan dapat dimanfaatkan sebagai daerah resapan air. Kalau ditinjau dari aspek planologis pekotaan, RTH diharapkan dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat. RTH tak sebagai berfungsi secara ekologis saja. Dalam fungsi sosialnya RTH dapat berfungsi sebagai open public space untuk tempat berinteraksi sosial dalam masyarakat.

Udara Jakarta yang semakin berpolusi membuat kadar pencemaran baik di udara, tanah, maupun di air juga berada dalam tahap mengkhawatirkan. Setiap pagi yang harusnya dinikmati dengan kesegaran sejuknya udara mungkin sudah harus terganti oleh sesaknya polusi dan kemacetan. Penduduk Jakarta yang semakin banyak namun udara segar semakin langka membuat para warga Jakarta harus berebutan udara segar. Apa buktinya? Setiap weekend kawasan yang masih cukup hijau dan segar di daerah Bogor ataupun Puncak menjadi tempat yang selalu dihabiskan oleh warga ibukota untuk melepas lelah dan mencari kesegaran.

Lahirnya Para Prajurit Hijau

Akibat semakin minimnya ketersediaan RTH dan ruang publik yang betul-betul layak maka lahirlah banyak komunitas-komunitas untuk menyelamatkan RTH ataupun ruang publik. Salah satu komunitasnya adalah HiddenPark. HiddenPark merupakan suatu kampanye pengaktifan taman kota sebagai ruang publik kreatif sehingga menciptakan pengalaman baru berinteraksi dengan RTH. HiddenPark juga merupakan sebuah eksperimen sosial yang terus berjalan untuk mengidentifikasi aspirasi masyarakat urban terhadap RTH dan memfasilitasi diskusi antar berbagai pemangku kepentingan untuk membuahkan kemitraan. Pada saat yang bersamaan diharapkan juga banyak lahir pula gerakan budaya bertaman yang bertanggung jawab dan menumbuhkan sense of belonging warga kota terhadap taman-tamannya. Banyak taman-taman yang berhasil kembali dihidupkan. Salahnya satunya adalah Taman Langsat, Kebayoran Baru dan Taman Kota Tebet.

See more at: Here

[caption caption="Kampanye Hiddenpark (Sumber: Hiddenpark.com)"]

[/caption]

Kemudian selain HiddenPark lahir juga gerakan PARK(Ing) Day. PARK(Ing) Day merupakan kampanye yang dilakukan dengan merubah sebuah lahan parkir menjadi area ruang publik. Kampanye yang selalu dilakukan setiap tahun pada minggu ketiga di bulan September secara serentak di seluruh dunia. Selama berlangsungnya kampanye PARK(Ing) Day, lahan parkir diubah menjadi taman buatan yang memfasilitasi masyarakat untuk beraktifitas dan saling berinteraksi. Kampanye ini sebetulnya mengajak bukan hanya mendorong pemerintah membangun dan menyediakan fasilitas ruang publik yang baik tapi juga memberi contoh kepada masyarakat bahwa banyak hal yang dapat dilakukan di ruang publik bila tidak digunakan untuk lahan parkir.

Masih banyak komunitas ataupun gerakan-gerakan lainnya. Dari banyak gerakan ini kesemuanya memberikan ajakan kepada semua pihak untuk secara lebih sadar untuk mengkonservasikan RTH dan keberadaan ruang publik yang semakin berkurang.

Butuh Upaya dan Perhatian Khusus

Pemerintah DKI Jakarta melalui Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta menargetkan penambahan RTH dengan total luas 50 hektare hingga akhir 2015. Target ini bertujuan memenuhi syarat ruang terbuka hijau 30 persen dari total luas wilayah. Suatu angin segar bagi warga Jakarta yang rindu akan ketersediaan RTH. Semoga RTH yang akan dibuat oleh pemerintah akan berfungsi dengan baik. Selain itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menargetkan pembangunan 54 lokasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) hingga akhir tahun ini. Pembangunan RTH dan RPTRA akan dibangun di atas lahan-lahan milik Pemprov DKI yang telantar.

Berkaca dari kota Bandung yang menghadirkan konsep-konsep taman ataupun RTH bertemakan tematik membuat ruang publik di kota tersebut hidup kembali. Wajah kota yang sebelumnya tampak layu, kini seolah disiram dan diberi pupuk kembali. Segar hasilnya. Kesuksesan ini juga seharusnya bisa ditiru oleh Pemprov DKI untuk menghadirkan RTH dan ruang publik yang manusiawi. Kota Jakarta yang sudah tercemar butuh banyak RTH sebagai penyerap polusi, upaya penghijauan, dan menghadirkan kota yang lebih sehat.

[caption caption="Sumber: twitter.com/hiddenparkid"]

[/caption]

Penantian Masyarakat Akan Hadirnya Ruang Publik

Warga Jakarta sangat menanti akan hadirnya ruang-ruang publik yang bermanfaat secara ekologis, ekonomis, maupun sosial budaya. Terlihat dari ramainya Car Free Day (CFD) pada setiap hari Minggu. CFD hampir tak pernah sepi setiap minggunya. Selalu ramai di setiap saat. Entah sekedar berolah raga, berjalan pagi, ngobrol, ataupun sekedar merasakan suasana di sekitaran Jalan M.H Thamrin – Sudirman. Berbagai interaksi individu maupun kelompok terlibat semua disini. Ini menunjukkan pula bahwa warga ibukota butuh lebih banyak ruang seperti ini. Sayangnya, dahulu CFD yang biasa digelar seharian semakin lama semakin dipotong “jatahnya”. Sekarang hanya tersisa dari pukul 06.00 – 11.00. Namanya juga “Day” seharusnya seharian. Kalau sampai jam 11 siang pun dihitung half day pun belumlah sampai.

Masyarakat yang sungguh merindukan adanya ruang publik ditengah-tengah hiruk pikuk penyelesaian yang tak jelas sebaiknya diberikan pemaksimalan kesempatan yang ada saat ini. Tak ada salahnya CFD digelar seharian. Syukur-syukur spot-nya tidak di Jalan Thamrin-Sudirman saja, tetapi lebih banyak jalan-jalan di Jakarta  yang bisa digunakan sebagai CFD.

Urusannya tidak hanya mencakup taman-taman saja. Tetapi area publik seperti trotoar, stasiun, halte, pasar, jalur hijau, dan lainnya harus dibenahi juga agar tampak lebih rapih dan tidak semrawutan. Kesemuanya juga harus mendukung suasana Green Living agar RTH tidak terbatas pada taman-taman kota ataupun taman milik perumahan saja. Dengan tertanya suasana kota yang lebih hijau dan asri akan menjamin tingkat kebahagiaan bagi para warganya. Semua pihak harus senantiasa bertanggung jawab dan sadar betul untuk menjaga kotanya.

Ruang publik merupakan ruang berbagi kebahagiaan. Saya yakin bahwa peningkatan kualitas taman kota dan RTH lain juga berarti peningkatan kualitas kehidupan warganya. Mari bersama-sama mewujudkan kota yang memanusiakan manusia.

 

Selamat Hari Habitat Dunia 2015!

Public Spaces for All

 

Sarwa Manggalam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun