Ruang publik sejatinya adalah keterbukaan akses ruang kepada semua orang. Semua orang dapat menyentuh dan menikmati ruang publik tanpa adanya marginalitas jenis kelamin, kaya ataupun miskin, tua ataupun muda, dan lain sebagainya. Perkembangan kota-kota yang semakin maju nampaknya hanya dirasakan bagi kalangan-kalangan yang lebih mampu saja. Megahnya pembangunan, akses fasilitas yang modern, dan kemajuannya tak terlalu dirasakan oleh mereka yang hidup dalam keterbatasan secara ekonomi. Inilah yang menimbulkan adanya privatisasi bagi akses ruang publik seperti mal, kafe, dan arena-arena hiburan yang mayoritas dinikmati oleh mereka yang secara ekonomi lebih mampu. Memang sebetulnya tempat-tempat tersebut tergolong ruang publik. Namun, apa daya tempat-tempat tersebut tidak memberikan pesona bagi mereka yang terpinggirkan. Bagi mereka yang terpinggirkan ini hanya menikmati fasilitas ruang publik seadanya dan pasti cari yang gratisan. Mereka pasti akan berpikir dua kali kalau pergi ke tempat seperti mal, kafe, dan arena-arena hiburan karena butuh budget yang tidak murah untuk menghabiskan waktu di tempat tersebut. Oleh karena itu menurut saya tempat seperti mal, kafe, tempat perbelanjaan, plaza, dan arena-arena hiburan di Indonesia tidak sepenuhnya ruang publik.
Berkaca dari Bandung Lautan Taman
Layaknya kisah historis Bandung Lautan Api dan semangat perjuangannya tak ada salahnya juga menjadikan Bandung Lautan Taman berikut pula disajikan semangat perjuangannya untuk menghadirkan Bandung menjadi kota yang mencerminkan kebahagiaan. Kota Bandung bisa menjadi cerminan bagi kota-kota lainnya untuk menjadikan kota yang sepenuhnya berbudaya, ramah, hangat, dan menjunjung tinggi tingkat kebahagiaan warganya.
Berkat kerja keras dari sang Wali Kota, Kang Emil, Bandung kini disulap menjadi kota Lautan Taman. Walaupun belum sepenuhnya, namun progress kemajuan pengembangan ruang publik di kota ini layak diacungi jempol. Taman-taman yang tidak terawat, keterbatasan ruang, dan ada yang beralih fungsi menjadi tantangan berat untuk mewujudkan Bandung yang lebih ramah bagi ketersediaan ruang publik. Alih-alih menggusur lahan demi membuat taman, Kang Emil justru menyulap taman-taman yang sudah ada dan sedikit ruang kosong seperti di kolong jembatan menjadi taman yang beradab. Jika sebelumnya, taman yang ada tak terawat, kotor, dan nyaris tak layak lagi disebut taman dan kolong-kolong jembatan yang menjadi real estate-nya gelandangan kini berubah menjadi taman-taman yang tampil ciamik. Kini orang-orang lebih sering mendatangi taman-taman yang ada. Dahulunya taman yang sepi dan terbengkalai sekarang sudah hidup kembali.
Membenahi ruang publik bukan sekedar perkara penampilan. Butuh banyak aspek agar sebuah ruang publik betul-betul ada manfaatnya bagi semua orang. Kini dibutuhkan ide brilian dan kreatif dari para pemimpinnya serta tanggung jawab, pengelolaan, dan kontrol bersama baik oleh instansi maupun privat yang didedikasikan untuk kepentingan dan kebutuhan publik. Hal ini dipastikan agar sebuah kota selayaknya menjadi kota yang membahagiakan setiap hati para penghuninya.
Turun Tangan Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kini lebih berinovasi menghadirkan kawasan huni sekaligus ruang publik bagi masyarakat. Rusun-rusun yang kini dibangun oleh Kementerian PUPR memiliki banyak fasilitas pendukung untuk menunjang aktivitas para penghuninya. Contohnya Rusun Jatinegara Barat memiliki 34 item fasilitas yang dapat digolongkan sebagai ruang publik. Berbeda dari tempat tinggal mereka sebelumnya yang berada di kawasan Kampung Pulo, Jakarta Timur yang hidup berdesak-desakan dan hampir tak ada ruang publik di antara perumahan-perumahan tersebut.
Kini semenjak mereka direlokasi ke rusun, mereka bisa memiliki aktivitas-aktivitas tambahan seperti tempat-tempat pelatihan, kursus, dan bahkan ada area perpustakaan anak. Tak tanggung-tanggung ada 7000 buah buku yang disediakan dan perpustakaan ini melayani dari pukul 08.00 sampai pukul 22.00. Hal ini tak akan mungkin ada di tempat mereka sebelumnya. Dengan adanya perpustakaan ini selain menambah pengetahuan anak juga dapat mendekatkan personal antar orang tua – anak dan antar komunitas. Ini menjadikan kedekatan personal atau kedekatan hati antar setiap individu terjalin lebih erat.
Kemudian Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama juga akan mewujudkan tempat “nongkrong” bagi anak muda. Ahok berencana akan membongkar jalur lambat di Jalan Thamrin – Sudirman untuk dibuat pelebaran trotoar. Pelebaran trotoar tersebut dapat dimanfaatkan oleh para pemilik gedung di sepanjang jalan untuk membuka restoran mini, kafe, ataupun kios. Kebijakan ini juga akan mencakup tambahan ruang terbuka bagi warga. Dengan demikian, nantinya warga Jakarta, khususnya anak-anak muda, bisa memiliki tempat hang-out baru yang terus hidup selama 24 jam. (Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/25/20494551/Wujudkan.Tempat.Nongkrong.Anak.Muda.Ahok.Bakal.Bongkar.Jalur.Lambat.Thamrin-Sudirman)
Ruang Perekat Hati
Ruang publik menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinteraksi, melakukan berbagai kegiatan secara bersama. Ruang publik menjadi wadah kegiatan komunal interaksi masyarakat dimana terjadi beragam aktivitas, dan juga merupakan ruang dimana masyarakat bisa berbagi ruang dan waktu untuk aktivitasnya. Aktivitas-aktivitas yang beragam yang membuat alur kehidupan di dalamnya begitu nyata dan hidup. Interaksi antar individu maupun komunitasnya dapat tersalurkan di tempat ini. Keceriaan mereka, senyum tawa yang selalu dipancarkan, kehangatan, dan setiap emosi bisa tertuang dalam ruang ini. Penekanannya adalah pada kebebasan ekspresi dan aktualisasi diri maupun kelompok. Meskipun demikian, bukan berarti kebebasan tanpa batas. Kontrol norma, aturan, dan regulasi tetap ada dan disepakati bersama.