Selebihnya, atau setelah dua minggu tadi aku akan berada dirumah sebagai tukang ketik yang menghabiskan malam hingga dini hari dengan berbagai naskah berita yang dikejar deadline. Hampir tidak ada waktu bagiku untuk menikmati nyenyak tidur yang bergelimang lendir dipipi kiri dan kanan sebagaimana kebanyakan orang yang sering ku temui. Karena aku hanya bisa tidur setidaknya satu atau dua jam, sebelum kemudian bangun lagi, lalu merampungkan naskah dan bersiap pergi ke kantor.
Bisa dibayangkan bukan betapa sibuknya aku sebagai seorang suami?
Waktuku terkuras hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa memang, karena aku tidak pernah punya apa-apa setelah menikahi istriku beberapa tahun sebelumnya. Dan untuk menebus dosa-dosa itu, aku --dan juga mungkin semua suami di dunia ini- harus bekerja keras membayar janji memberikan rasa aman dan nyaman pada istriku sebagaimana kalimat itu pernah ku katakan di depan penghulu dan orang banyak dihari pernikahan kami. Â Â
Hingga, suatu kali di malam yang begitu melelahkan, istriku datang mengajakku bertamu ke (maaf!) selangkangannya. Dan aku mengiyakan saja, toh itu tanggung jawabku untuk membuatnya tetap terjaga emosinya. Perihal ini, aku pernah mempelajari dan juga kadang berdiskusi dengan sesama jurnalis. Bahwa setiap perempuan yang jarang sekali dikunjungi akan merasakan perubahan kondisi emosi. Entahlah apa maksud dari yang disebut dengan perubahan kondisi emosi. Tidak ada penjelasan detailnya, karena kami --yang berdiskusi waktu itu- hanyalah sekumpulan jurnalistik, dan bukan ahli Seksologi.Â
Namun sesuatu yang ganjil terjadi dalam satu bulan setelah malam melelahkan itu. Istriku hamil, dan dengan begitu sumringahnya ia memperlihatkannya padaku lewat sebuah benda kecil yang memanjang seperti pengukur suhu yang entahlah apa namanya itu, aku lupa.
Awalnya aku hanya terdiam, sambil memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan lain didepan semua perkara yang baru saja terjadi. Sebelum akhirnya, akupun ikut-ikutan sumringah, memancarkan senyum --tanda aku bahagia- di depan matanya. Namun ada sesuatu yang ku khawatirkan didalam hatiku.
Suatu kali, jauh sebelum istriku mengandung Helena dirahimnya. Aku pernah menemui seorang dokter untuk memeriksakan tekanan darahku karena aku sering merasakan pening setiap kali ditengah pekerjaan. Kata dokter itu aku sedang dalam kondisi stress dan mendekati depresi. Tuntutan kerja menjadi faktor utamanya, dan bla-bla-bla-bla.. hingga semua percakapan itu berakhir pada satu perkara penting, yang lebih penting dari penyakit stress dan depresi ringan yang ku alami.
Aku mandul, kata dokter itu sambil dibacanya kertas putih yang memuat hasil diagnosa seluruh keadaan tubuhku.
Aku tidak pernah memberitahukan istriku soal perkara itu, meskipun Sang dokter-pun telah memberikan saran agar aku berterus terang padanya. Surat yang diberikan dokter itu telah kubakar habis jauh dari rumah selama perjalan pulang. Aku kalut, kaget bercampur amarah pada diriku sendiri. Hingga aku kemudian sadar, bahwa aku terlalu mencintai istriku, dan aku takut ia akan meninggalkanku setelah mengetahui itu semua.
Dan sebab itu, dihari dimana ia menunjukan padaku kalau ia tengah hamil, aku tetap tidak bisa meluapkan emosiku dan kemudian berterus terang, meskipun aku tahu, bayi yang ada diperutnya, atau manusia yang kemudian bernama Helena itu bukanlah benih dari diriku, lebih tepatnya dia bukan anakku.
O, ya! Soal keanehan Helena setiap pukul lima dini hari, dipojok ruang tamu, dan kura-kura sekarat yang selalu diperkarakan istriku sebagai penyebab semuanya.