I
Setelah kematian pamanya dua minggu yang lalu, anak itu memang suka sekali duduk berlama-lama memandangi akuarium yang berisi seekor kura-kura sekarat di dalamnya. Aku sendiri sebagai ibunya sampai terheran-heran dibuatnya. Mula-mula ia hanya memandangi akuarium itu dengan tatapan kosong, seperti sebuah patung yang menatap bisu pada suasana kota disekitarnya.Â
Setiap pagi, kira-kira pukul lima dini hari, ia akan bangun dari tidurnya dengan langkah teratur (tanpa membereskan penampilannya) dan menuju akuarium yang berada dipojok ruang tamu. Berlama-lama disana hingga matahari menyengat dinding rumah kami pukul enam pagi, atau lebih tepatnya setelah aku atau ayahnya membuyarkan seluruh lamunannya dengan perintah membersihkan diri dan bersiap dengan sekolah paginya.
Pernah suatu kali, di malam hari setelah ia tertidur pulas, kami --maksudnya aku dan suamiku- coba menghentikan keanehan anak kami itu dengan memindahkan akuarium tua itu ke belakang rumah. Di sana ada sebuah kolam yang dibuat oleh mendiang kakeknya sebelum ia mendapatkan akuarium baru di umurnya yang kelima. Kura-kura sekarat -yang entah kapan ajal bakal menjemputnya- itu kami pisahkan dengan akuarium tempatnya biasa bersembunyi dari dunia yang ganas. Kami biarkan kura-kura itu berenang kesana kemari di dalam kolam tua yang sudah terjerang air. Dan betapa senangnya binatang amfibi itu, ia berenang seperti sedang menari disebuah pesta kostum.
Di luar kebahagiaan si kura-kura itu, kami memang bermaksud untuk mencari tahu seberapa besar reaksi anak semata wayang kami itu. Siapa tahu dari sana kami bisa menemukan solusi untuk membuatnya meninggalkan kebiasaan anehnya yang seringkali mengganggu pikiran di kepala kami.
Paginya, seperti yang sudah bisa diduga, pukul lima dini hari ia bangun dari tidurnya, dengan penampilan berantakan, menuju tempatnya biasa melewati waktu-waktu dimana matahari merangkak keluar dari perut bumi dan mulai memanjati langit. Di luar dugaan kami, ia tidak mempermasalahkan kura-kura yang tiba-tiba lenyap dari pelupuk matanya, dan hanya duduk dengan tenang di sofa menghadap ke arah dimana akuarium itu dulunya berada. Dan terus melamun seoalh semua baik-baik saja.
Aku menggeleng keheranan, suamiku juga.
II
Apakah percakapan ini rahasia? Baiklah!
Aku sebenarnya tidak selalu sependapat dengan istriku, dalam hal apapun. Termasuk soal Helena, putri sematang wayangnya. Kau pasti bingung bukan? Kenapa aku menyebut Helena putri-semata-wayang-istriku dan bukan putri semata wayangku? Biar ku ceritakan, asalkan aku bisa diyakinkan bahwa percakapan ini adalah percakapan rahasia.
Dahulu, sejak masih bekerja sebagai jurnalis. Aku seringkali meninggalkan istriku sendiri di rumah, tanpa siapa-siapa. Waktu itu Helena belum lahir, dan tentu saja belum ada dikandungan. Aku sering bepergian untuk waktu yang tidak singkat. Bisa dibilang, satu atau dua minggu berada diluar kota, berpindah dari satu kota ke kota yang lainnya, dan seterusnya.Â