Ia ingin keluar dari pulau Sulawesi, dan mencoba peruntungan baru ditempat baru, Jawa misalnya. Namun, keadaan sewaktu ayahmu mendapatkan keinginannya dengan kondisi keuangan kakek-nenekmu berbanding terbalik. Kakek-nenekmu tidak sanggup membiayai keberangkatan ayahmu ke Tanah Jawa, terlebih jika disandarkan alasan mereka pada kondisi negara yang saat itu sedang dalam cengkraman jepang --karena jepang menguasai hampir seluruh Tanah Jawa, atau sebenarnya bisa dibilang seluruhnya.
Tapi sebagaimana dirimu saudaraku, bung. Ayahmu adalah seorang perjaka yang keras kepala. Ia tidak putus asa, ia tidak ingin keinginannya menjadi penyakit yang kemudian merongrongnya dimasa depan. Atau sebenarnya ia memang tidak mungkin bisa putus asa, karena pada dasarnya ia selalu mendapatkan cara untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai didalam kepala dan hatinya.
Tidak seperti Nahkoda Tenggang yang pada satu kali tiba-tiba menemukan cara untuk merantau melalui sebuah kapal yang entah kenapa --atau barangkali sengaja- lewat didepannya. Ayahmu tersilaukan oleh sebuah perahu layar yang terparkir dibibir pantai dekat rumah kakek-nenekmu.Â
Dengan perahu layar itulah ia akhirnya pada suatu subuh yang kurang ajar, kabur tanpa menyisahkan jejak --karena tak mungkin meninggalkan jejak perahu diatas air. Ia dan perahunya menghilang entah kemana hingga pada suatu saat, aku yang mengumpulkan artikel-artikel tentang kemaritiman menemukannya dalam sepotong koran dengan judul: Seseorangdjang terapoeng ditengah badai. Yang tahun terbit dan penulisnya telah buram termakan usia.
Aku yakin itu ayahmu, sangat yakin sebagaimana aku yakin nama dan margamu mengikuti namanya yang juga mengikuti nama kakekmu. Bukankah itu ciri khas orang-orang yang memiliki anak dikampungmu, memberikan nama-nama mereka dan ayah mereka dibelakang nama anak-anak mereka.
/2/Â KUTUKAN PALING MENGERIKAN DI DUNIA.
Setelah membaca sepotong surat yang dikirim Yamin baru-baru ini, aku semakin sadar, usahaku untuk mengumpulkan bercak-bercak jejak yang bisa mempertemukanku dengan ayahku begitu terjal, dan berbatu tajam.
Ia mengakhiri tulisan disuratnya dengan kalimat-kalimat tidak menyenangkan. Intinya ia mengatakan saat ingin melanjutkan cerita itu, seseorang --entah siapa- menggedor-gedor pintu rumahnya dengan begitu keras. Tulisan tangannya pun teracak kesana kemari, serupa ingin mengatakan aku-sedang-dalam-bahaya. Aku berharap ia baik-baik saja.
Sesudah mengaduk teh, aku kemudian beranjak dari ruang kerjaku menuju beranda. Di sana, sering kuhabiskan berbatang-batang kretek hanya untuk menenangkan kepala dan jiwaku dari tekanan orang-orang terdekat untuk segera menemukan jejak ayah. Aku jadi teringat ibu, setidaknya ia yang sedang terbaring dirumah sakit kini bisa tenang menghembuskan nafas terakhir setelah mendengar kabar apa dan bagaimana ayah sekarang. Hidup dan mati bagiku sama saja, mungkin bagi ibu juga. Tapi lagi-lagi bukan itu yang diinginkan ibu, melainkan kepastian.
Lamat-lamat aku jadi berfikir buruk, apakah ayah menaburi jiwa dan fikiran ibu dengan guna-guna lantas untuk meregang nyawapun terasa begitu sukar dilakukan oleh malaikat pencabut nyawa. Dan apakah jika itu adalah sebuah kebenaran, pantaskah aku untuk membalas atau paling tidak membenci orang yang kini tidak pernah lagi ku ketahui keadaannya. Lalu apakah pencarianku ini hanyalah percikan-percikan dendam yang tertabur dinadiku sejak kesakitan ibu dua belas tahun silam, bukan sebagai cerminan seorang anak lelaki yang rindu pada kewibawaan seorang ayah.
Aku lalu menengadah ke arah dimana sebuah rumah sakit sedang dibangun didekat komplek perumahan. Seorang kakek tua terlihat sedang memanggul sekarung batu yang bakal disusun sebagai fondasi bangunan itu.Â