"Sebelum mendengar cerita ini, sempatkanlah berdoa untuk kebaikan diri sendiri. Jika diakhir cerita anda mulai merasakan jari jemari anda kian memberat, kaki anda terasa kebas, dan tubuh anda serasa hilang kekuatan -biasanya ditandai dengan lemas- maka kutukan itu telah berpindah. Sebagaimana kami, tiada satupun yang bisa sembunyi dari hal mengerikan ini"Â Â Â
Setelah cerita ini beredar --setidaknya sesudah kau mendengarnya. Berarti aku telah pergi jauh meninggalkan semacam ketakutan ditempatku saat ini berbicara padamu. Orang-orang itu --mereka yang tidak menyebutkan nama, kecuali selembar surat perintah, terus membuntuti keberadaanku.Â
Kemarin lusa mereka menelisik tempatku bekerja, warung cukur rambut milik Cak Zainal. Dan, kau tahulah bagaimana takutnya Cak Zainal saat orang-orang dengan tubuh gempal itu masuk serupa robot ke dalam tempat itu (yang tidak lebih besar dari ruang keluarga milik seorang pekerja kelas menengah), lalu memberikan seraut tatapan penuh ancaman melalui sepasang sorot mata mereka.
Zaman memanglah telah berubah saudaraku, bung. Tapi sebagaimana kita tahu sejak awal, penjajahan manusia sebenarnya tidak pernah selesai sebelum kiamat tiba. Dan untuk itulah, sebelum aku kau temukan sebagai mayat --atau orang-orang dalam berita, atau suara telepon yang mengabari kematianku dan tidak lain itu adalah Cak Zainal- aku ingin menceritakan sesuatu yang selama ini menjadikanmu selalu mengejar dan mencari tahu tempat keberadaanku, tepatnya tempat persembunyianku.
/1/Â SEBUAH SURAT DAN CERITA TENTANG NAHKODA TENGGANG.
Jika kau membuka catatan lama tentang Nahkoda Tenggang: sebuah legenda dari Malaysia --yang pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka. Di sana kau akan menemukan kisah yang sebenarnya mirip dengan cerita tentang ayahmu.
Ayahmu adalah seorang perantauan dimasa lalu. Ia menghabiskan banyak waktu dihidupnya untuk mengejar banyak ilmu. Dari ilmu agama, ilmu silat, ilmu bercocok tanam, ilmu bumi, bahkan ilmu santet dan teluh dan tak lupa guna-guna --pada saat itu belum ada ilmu menulis, dan meresensi buku, selain karena minimnya pendidikan menulis, juga karena kurangnya akses buku seperti sekarang ini.Â
Perlu kusampaikan padamu, sebenarnya ia tidak serakus itu hingga harus memiliki segala ilmu yang kusebutkan tadi, ia hanya mencerap sedikit demi sedikit dari apa yang ia dapatkan dari orang-orang terdekat, para sepuh agama, dukun-dukun sakti, dan pemain perempuan. Dan semua itu disebabkan oleh hal yang sampai sekarang turun temurun juga berada didalam darahmu. Sebuah rasa penasaran.
Rasa penasaran itu kemudian menyeretnya hingga berlayar mengarungi dua selat yang berbeda. Selat Sulawesi, dan Selat Sunda.
Di hari yang tidak bisa ku ingat dengan jelas, karena dari informan-informan yang kadang-kadang bahkan harus sembunyi-sembunyi untuk bertemu, aku mendapatkan cerita lengkap tentang ayahmu --di Sulawesi, yang pernah sekali waktu meminta pada kakek-nenekmu yang juga tak pernah kau temui itu sebuah keinginan.Â