Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Seorang Laki-laki Kesepian atau Seekor Babi yang Ingin Mati Baik-baik

6 Maret 2018   10:20 Diperbarui: 10 Maret 2018   12:54 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada yang lebih mengiris hatinya, kecuali itu adalah kematian Jhon. Lelaki itu, yang biasa disapa Edi Ponga, yang sebenarnya tak pernah satu pun orang pernah menyapanya, tapi namanya tetap Edi Ponga, hari itu pada suatu siang setelah ia selesai dengan rongsokan plastik dalam karungnya, ketika sedang ingin menyapa karibnya yang hanya satu-satunya, juga karena sebegitu rindu-rindunya pada Jhon (karibnya yang tadi sudah kukatakan padamu), tiba-tiba saja menjerit minta ampun.

Ku sampaikan ini padamu, dengan cara yang agaknya -cenderung-klise.Maaf, sebagai penulis (semoga tidak berlebihan) yang tidak ingin membuat jantung pembacanya copot sebelum kisah ini usai, cara-cara mainstream terpaksa aku lakukan, dan aku harus mengatakan hal pahit ini padamu: Jhon itu babi.

Percaya atau tidak, Edi Ponga adalah satu-satunya manusia di dunia ini yang hidup tanpa siapa-siapa, itu sebelum kehadiran Jhon yang tanpa sengaja datang mengisi hari-harinya. Dan sebagaimana kita tahu, Jhon sudah mati. Dan hal itu membuat Edi Ponga harus merasakan perih di dada ringkihnya untuk pertama kali dalam hidupnya.

Edi Ponga tak pernah merasakan sakit hati yang seperti itu. Arti kehilangan baginya sama dengan makna kehilangan bagi banyak orang, meskipun ia kehilangan seekor babi. Ia sedih karena ia tak bisa berbuat apa-apa dihari-hari terakhirnya. Ia menemukan luka di hatinya karena tak bisa menyaksikan sakratul maut menjemput satu-satunya ciptaan Tuhan yang menemani dan mengajarkan arti memiliki dan arti hidup padanya. Dan ia menangis, karena tak bisa berbuat apa-apa sebagai balas jasa karena Jhon sudah menemani hari-harinya, termasuk bahkan tak bisa sempat menyembelihnya selayak binatang terhormat lainnya.

Edi Ponga pada akhirnya menyerah pada waktu, Jhon tak bisa kembali menjadi babi periang yang selama ini menemaninya makan, tidur, merokok, mengopi, dan bahkan berhutang nasi. Ia sudah jadi mayat babi, eh, maksudnya bangkai babi. meski dalam hati Edi Ponga ia tak rela menyebut Jhon sebagai bangkai, ia lebih suka mengatakan seonggok daging bisu itu sebagai jenazah.

Ia tak pernah mengenal siapa pun di dunia ini, termasuk para tetangganya yang tinggal di gedung-gedung apartemen, yang menjulang, juga mengimpit gubuknya yang sebenarnya lebih layak kalau disebut sebagai kandang babi. Jadi ia tak mengetahui bahwa bangkai babi tak layak disebut sebagai jenazah, ia tak tahu bahwa yang layak disebut jenazah itu hanya manusia. Tapi ia tidak mengenal siapapun yang berarti dalam hidupnya, termasuk orang-orang diperkampungan kumuh itu. Tidak satupun manusia kecuali seekor babi, ya, itu adalah Jhon.

Jhon adalah segala-galanya baginya. Babi itu adalah teman curhat lelaki ponga itu, meski dalam kenyataannya, baik Jhon dan Edi Ponga sama-sama tak bisa bicara. Bukankah lebih baik begitu, dunia adil pada sahabat yang sama-sama tak bisa saling mencela seperti mereka, berbaik bibir di depan, tapi mengiris dengan mulut di belakang. Ia jadi teringat pada sahabat-sahabat kecilnya di kampung.

 Ia anggap sahabat hanya karena sebatas umur mereka yang sepadan, bukan karena Edi Ponga bisa bergaul dengan mereka. Karena anak-anak itu akan dan bakal mengata-ngatainya dengan berbagai celaan, dasar ponga! Dasar makhluk luar angkasa! Dasar turunan demit! Dan sebagainya, dan sebagainya, jika Edi Ponga kecil berani mendekati mereka, dan apalagi sampai meminta ikut bermain.

Itu adalah awal ketika ia pada akhirnya memutuskan untuk pergi ke kota, dan jadi pemulung di sana, dan juga bertemu babi yang ia beri nama Jhon itu.

~

Di hadapan bangkai itu ia akhirnya mengapitkan secarik kain, yang entah dari tong sampah dimana ia menemukannya. Ia perlakukan mayat Jhon sebagaimana mayat manusia, meski tanpa doa, karena ia tak bisa berdoa. Itu lebih baik ketimbang anak muda yang kemarin sore dibakar masa karena mencuri sepeda motor, atau seorang kiyai yang bunuh diri karena dituduh tidak mendukung agamanya, atau seorang perempuan yang minggu lalu disabet oleh suaminya dengan parang karena selingkuh.

Bangkai itu akhirnya ia kuburkan di depan pintu gubuknya, tepat di mana air hujan dari wuwungan jatuh menyentuh bumi. Tempat itu satu-satunya tanah tersisa yang ia miliki, karena ia tak punya apa-apa lagi. Di samping kiri dan kanan sudah berdiri apartemen-apartemen yang tidak peduli padanya, apalagi pada babi peliharaannya.

Saat-saat itu awan dilangit seakan bersekongkol membuat penyerangan pada bumi. Rintik hujan sebenarnya sudah jatuh malu-malu dikuburan yang akan menjadi tempat damai untuk Jhon. Dan Edi Ponga semakin bersedih. Ia tahu situasi itu hanya mengingatkannya pada masa-masa pertama kali ia bertemu dengan babi itu, dahulu ketika hujan sedang memaksanya istrahat di salah satu beranda warung.

Saat itu ia yang sedang memanggul karung, yang diisi barangkali oleh plastik, dan kaleng susu, tiba-tiba saja didatangi oleh anak babi saat sedang berlindung di bawah beranda warung karena hujan. Anak babi itu terlihat sangat memprihatinkan. Bulu-bulunya nampak tak pernah tersisir, basah oleh hujan, dan tubuhnya kurus, mungkin tak makan selama berminggu-minggu. Sedang tatapan matanya seolah menggambarkan ia adalah seekor babi yang sudah pasrah pada takdir dan tidak mau lagi terikat pada urusan duniawi. Ia bahkan tak bergerak sedikit pun, paling tidak memberikan perlawanan saat Edi Ponga mendekatinya.

Ia bahkan manut dan ikut saja ketika Edi Ponga menggiringnya ke gubuk lelaki itu. Ia juga manut saja ketika Edi Ponga dengan sedikit berbisik padanya, mengatakan kalau hari ini ia belum bisa makan karena Edi Ponga tak punya uang untuk memberinya makan. Ia juga manut bahkan ketika Edi Ponga menyuruhnya istirahat dan rebahan di salah satu sisi dinding gubuknya. Seolah dunia bukan lagi menjadi hal yang penting bagi anak babi itu. Dan dalam beberapa bulan ia tumbuh dari anak babi yang patuh jadi babi dewasa yang bijaksana, yang tahu tuannya hanyalah seorang pemulung yang tak punya apa-apa.

Hingga pada suatu hari, ya! Itu adalah hari ini, saat cerita ini kau baca, babi dewasa itu mati, Jhon mati dengan baik-baik dan tanpa penyesalan. Serupa matinya seorang petapa, atau seorang pengembara yang lari dari zaman.

Edi Ponga yang tak bisa lagi menerjemahkan luka di dadanya, juga patah di hatinya, kemudian jatuh sakit setelah beberapa hari kematian sahabat karibnya, Jhon alias babi bijaksana yang mati bahagia itu. Kemudian dalam penyesalan terakhirnya ia mati sia-sia, tanpa doa, dan tanpa dikuburkan. Karena tak ada satu pun orang di kota itu yang tahu. Kalau di sisi-sisi apartemen megah mereka, juga di antara pusat-pusat belanja anak-anak mereka, telah teronggok bangkai seorang manusia, yang bahkan lebih terabaikan dari mayat seekor babi.

Serupa pemuda yang dibakar masa karena mencuri, serupa seorang kyai yang gantung diri karena dituduh tidak pro agamanya sendiri, juga serupa perempuan malang yang disabet suaminya dengan parang karena selingkuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun