Pada sebuah cerita, yang jadi saksi, pernikahan mereka dimaharkan pada seribu karang!
Sebelum kau melanjutkan ceritamu, kau memintaku untuk berdoa pada langit, ini katamu baik untuk diriku yang sudah menandaskan dua gelas kopi, dan sebungkus rokok selama duduk bersamamu disini.
Dan aku sudah berdoa. Bisakah kau lanjutkan ceritamu itu?
~
Kasihku, seandainya kita menikah nanti, bolehkah aku meminta sebuah mahar padamu? Sebuah mahar yang akan jadi permintaan terakhirku padamu! Kalau boleh, aku akan melanjutkannya. Ku harap kau tidak akan langsung mengatakan, "Ah, dasar perempuan materialistik" padaku.
Kemarin, di tivi, ada sebuah pernikahan seorang artis yang dimaharkan pada emas dua puluh empat karat. Aku mengamati prosesi pernikahan itu hingga tuntas, Kasihku mereka begitu bahagia. Kau tahu, aku awalnya berfikir kalau menikah itu tidaklah penting. Toh kita juga masih bisa saling mencintai tanpa harus menikah. Namun semakin kesini, aku semakin sadar, pernikahan tidak bisa ditampik begitu saja sebagai kabar burung. Ia bisa datang dengan tiba-tiba, juga dengan diam-diam dan malu-malu.
Kasihku, seandainya kita menikah nanti, bolehkah aku meminta seribu karang padamu? Kau pasti akan menggapku gila, bukan? Tapi kasihku, Bandung Bondowoso, karena cintanya pada Roro Jongrang, ia bahkan menyanggupi syarat seribu candi dalam semalam. Ya, pada kisahnya, meski kau juga tahu kasihku, ia sedikit licik telah mengikut campurkan jin dalam pekerjaannya itu. Dan kesalahannya adalah ia tidak mengetahui kalau Roro Jongrang tidak benar-benar mencintainya.
Kasihku, Dayang Sumbi bahkan memberikan syarat sebuah perahu dan sebuah telaga dalam semalam pada Sangkuriang anaknya. Yang nekat menikahi ibu kandungnya sendiri, apa kau pernah dengar cerita itu? Tapi aku tidak begitu kasihku, meski kami sama-sama perempuan, aku tidak akan memintamu menyediakan mahar itu dalam satu malam saja, itu sebab kenapa aku menuliskan surat ini padamu.
Mungkin kau akan bertanya, "Kenapa tidak meminta yang lain saja, misalnya emas, atau uang?"
Tenanglah dulu kasihku, aku bukannya mempersulitmu atau juga pernikahan kita nanti. Bukankah kita sama-sama tahu dari mana uang itu berasal? Ya bisa saja kau mengatakan kalau uang yang bakal kau jadikan mahar adalah jerih payahmu selama bertahun-tahun kerja diluar negeri atau selama berbulan-bulan tak pernah tidur untuk sebuah atau beberapa proyek besar.
Ku mohon jangan menutupi fakta kalau uang-uang yang kau kumpulkan itu ternyata juga adalah uang-uang orang-orang yang tidak mampu, uang-uang orang-orang diluar sana yang seharusnya mendapatkan haknya. Bukankah dalam agamamu dikatakan demikian kasihku? Aku jadi tidak bisa membayangkan dimana hari kebahagiaan kita menjadi hari paling menyakitkan buat orang-orang diluar sana yang bahkan tidak sanggup menyekolahkan anak atau memberi makan keluarganya.
Aku juga tidak ingin emas kasihku, aku tidak ingin menjadi sombong karena melabeli tubuhku dengan harga. Bagiku diriku hanya untukmu bukan untuk harga yang bisa dihitung seenaknya oleh laki-laki lain, apalagi sampai dipergunjingkan oleh tetangga-tetangga kita nanti. Aku tidak ingin setelah kita menikah nanti, aku bakal disibukan dengan berbagai daftar tata cara menghabiskan uang, belanja dimall, traveling keliling dunia, arisan, karaoke, minum-minum, atau mengoleksi benda-benda berharga. Bukan itu tujuanku hidup dan menikah denganmu. Lagipula, apa hati seorang perempuan setega itu bersenang-senang ketika bahkan ia tahu emas yang ia gunakan untuk dipertontonkan adalah hasil kesakitan para penambang di Papua sana? Ketika bahkan ia tahu bahwa nyawa-nyawa suami dari istri yang hidup dari bertambang dipertaruhkan hanya untuk membuat dirimu bisa menikahiku? Tidak , bukan seperti itu kasihku.
Aku hanya ingin seribu karang, dan aku akan senang dan bahagia jika suatu hari nanti kita bisa bertamasya dan menyelami karang-karang indah kita itu. Coba bayangkan keluarga-keluarga ikan-ikan, kuda laut, ular laut, atau siput juga ikut meramaikan kebahagiaan kita! Bahkan hingga anak cucuk kita nanti telah lahir dan tumbuh dewasa, karang-karang itu tetap sehat dan jadi sumber keindahan yang tidak akan dirubah dengan gedung-gedung sesak dikota.
Kasihku, ku harap kau membaca surat ini, dimanapun engkau, dan siapapun dirimu. Aku mencintaimu!
~
Katamu, akhirnya mereka menikah, dan hidup bahagia. Perempuan itu akhirnya menikah dengan kekasihnya yang datang membawakan mahar seribu karang. Katamu setiap mengunjungi kota dimana kedua pasang manusia itu hidup, kau akan menemukan hamparan laut yang indah dengan senja, dan karang-karang, dan ikan-ikan, dan kuda laut, ular laut, dan siput-siput yang juga bahagia. Â
Tapi katamu tempat itu hanya ada dalam cerita, karena tidak, atau belum ada perempuan yang meminta untuk diberi mahar karang-karang.
Yogyakarta, 24 Februari 2018.
(Pernah terbit sebagai catatan dilaman facebook milik penulis, dengan judul Mahar Seribu Karang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H