Ku kira jika aku melanjutkannya, maka dalam cerita berikutnya, kau dalam bentuk perempuan itu bakal menatapku dengan penuh kecurigaan. Karena aku dengan sengaja mengeluarkan novel Cantik Itu Luka dari dalam tas dan kemudian dengan angkuh dan sombong membacanya tanpa memperdulikan siapapun. Hei, bukannya angkuh dan sombong itu sama saja dengan tidak peduli pada apapun dan siapapun?
Ah, ini adalah bagian yang sangat tidak kusukai saat ini.
Selanjutnya, kau tiba-tiba saja -entah dengan sengaja atau tidak- menjatuhkan pulpen tepat disisi kiri tempat dudukku. Aku meraih pulpen itu. Dalam hatiku ada desis arogan yang menguap seenaknya. Ah, klasik sekali drama ini. Kau menjatuhkan pulpen, dan aku mengambilnya, dan kau tersenyum, akupun tersenyum, lalu kita saling sapa, berkenalan, diam sebentar, kembali lagi pada bacaan masing-masing, balik lagi kembali saling menatap, tersenyum lagi, lalu aku kemudian bertanya sekenanya padamu. "Suka sastra?", dan kau hanya membalas dengan senyuman.
~
Setelah kau pergi.
Aku masih saja berada dikafe Mat Modar ketika hujan sedang mengguyur malam. Aku hampir tidak tahu harus melakukan apa. Mataku perih, mungkin karena asap rokok, atau kelebihan kafein.
Aku kemudian membakar satu lagi rokok yang kupunya. Bosan memaksaku melakukan hal tidak berguna itu. Ku hisap dalam-dalam asapnya, lalu kuhembuskan sebagai kehampaan dan kesia-siaan yang memenuhi ruangan. Aku masih belum menemukan apa-apa. Di luar hujan juga semakin deras. Ku lihat orang-orang dikafe sudah mengatur kursi, mematikan beberapa lampu berdaya besar, dan beberapa orang lainnya sibuk merapikan tumpukan kertas. Yang kuduga itu adalah nota-nota pembelian. Aku merasa ingin sekali menulis sesuatu. Ku buka lagi laptop yang ternyata tidak benar-benar mati, hanya padam, lelap sejenak. Aku mengarahkan lagi kursor pada ikon Microsoft Word, klik, dan sebuah lembar kosong lagi terbuka.
Seorang perempuan disebuah kafe menangis sesenggukan.
"Aku tidak bisa menolaknya!"
"Tapi kenapa?"
"Ayahku jatuh sakit. Kami tak punya biaya. Ibuku juga, mulutnya hanya bisa mengumbar teror. Kapan kamu mau membantu keluargamu? Ayah ibumu? Coba lihat nasib adik-adikmu itu? Mau jadi apa mereka nanti kalau kamu menolak lamaran itu?"