Mira sudah sekolah, disekolah dasar dikampungku. Aku juga ingin sekolah, kata ibu tahun depan aku akan sekolah disekolah yang sama dengan Mira. Aku senang sekali, karena aku akan pergi kesekolah dan pulang kerumah bersama Mira, memakai baju, rok dan sepatu seperti yang dipakai Mira. Dan tentu waktu-waktu kami bermain akan semakin banyak, tidak seperti sekarang, sebagaimana ia sering tiada dirumahnya hingga siang hari.
Mira juga sering diajak ibu kepantai bersamaku, jika sedang libur, ibu akan meminta Mira menemaniku membangun istana pasir atau sekedar bermain air. Aku tidak tahu apa itu libur, yang aku tahu jika Mira bersamaku maka saat itu adalah libur. Saat-saat bersama Mira, ia akan bercerita tentang sekolah dan pelajaran yang baru saja diajarkan oleh guru-guru disana. Ia pernah bilang bahwa ia sudah menghafal penjumlahan dengan dua angka tanpa mesin hitung, ia juga pernah mengajariku menghitung angka, mengeja nama, dan menghafal nama, nama ayah, nama ibu, dan namaku sendiri. Mira juga pernah mengajariku menulis nama, nama ayah, nama ibu, dan namaku sendiri. Tapi ia tuidak mengajariku menulis surat. Katanya nanti setelah sekolah aku akan diajari menulis surat oleh guru-guru disana. Enak ya kalau sudah sekolah, bisa membuat surat.
~
Di depan Mira, aku minta dibuatkan surat untuk ibu. Ia kebingungan, diam sebentar, lalu bertanya padaku. "Apa kamu tahu dimana ibumu sekarang?" Aku menggelengkan kepala, ia tersenyum sambil melanjutkan kata-katanya "Kata guru kamu harus punya alamat tujuan" Aku tidak tahu apa itu alamat, apa itu tujuan, yang aku ingat, ayah bilang kalau ibu pergi jauh, bekerja keras membantu orang-orang dilaut. Mungkin ibu pergi kelaut, tidak, ibu pasti tinggal dilaut.
Mira kemudian mengambil selembar kertas dan memintaku memikirkan apa yang ingin ia tuliskan. Aku kemudian memintanya bertanya pada ibu, apa ibu sedang baik-baik saja? apa ibu terlalu sibuk sampai lupa mengirim surat lagi? apa ibu tidak lagi rindu padaku? kapan ibu pulang?
Mira tersenyum, melipat kertas yang penuh dengan pertanyaan, dan memintaku menandatanganinya. Aku tidak tahu apa itu tanda tangan. Aku menggelengkan kepala. Kata Mira surat tanpa tanda tangan tidak akan sampai pada tujuannya, kalaupun sampai, surat itu akan dianggap palsu. Aku sedih. Enak ya kalau sudah sekolah, bisa membuat surat dan tanda tangan.
"Aku tahu!"
Mira kemudian mengambil botol tinta milik ayahnya, mencelupkan jari telunjukku ke dalam botol, lalu menempelkannya pada surat yang terlipat di depan kami. Aku bingung, Mira hanya tersenyum.
"Selain tanda tangan, cap jempol juga bisa membuat surat sampai dan dipercaya oleh pembacanya" kata Mira sumringah. Aku juga ikut senang.
Setelah surat itu selesai, aku dan Mira lalu mengantarnya ke sungai, membungkusnya dengan kantong plastik, lalu mengalirkannya. Kata Mira, sungai akan membawa suratku ke laut. Disana ibu akan menerima dan membaca suratku. Aku bertanya bagaimana jika ibu ingin membalas suratku? Hujan!, kata Mira. Hujan akan membawa surat balasan dari ibu untukku. Sejak kapan hujan turun dengan sepucuk surat? kata Mira, hujan berasal dari laut, airnya menguap karena panas matahari dan naik ke daratan menjadi hujan, dan bisa menjadi surat. Aku senang sekali, menunggu hujan membawa sepucuk surat dari ibu.
~