Dalam sebuah ruangan tertutup ia mencoba lagi usaha - usaha penemuan menakjubkannya itu. Sebuah mesin waktu. Di sana ada seorang peneliti lain, lulusan Universitas ternama di Asia Tenggara, berkemapuan sekaliber penemu hukum kekekalan massa, dan sudah sebulan ini membantunya menyusun partikel - partikel yang berhamburan di bumi. Peneliti itu berkata bahwa semua kejadian yang pernah ada dikehidupan nyata tidak pernah hilang total. Melebur mungkin, tapi tidak ada kesempatan untuk hancur. Begitu katanya.
Orang - orang mengenalnya sebagai Jhon, seorang yang tertutup bagi tetangga - tetangganya, itu sangat wajar, karena ia menghabiskan sepuluh tahun di dalam Laboratorium pribadinya. Orang - orang disekelilingnya bahkan pernah melupakan namanya beberapa kali, ketika berturut - turut berpuluh ilmuan datang untuk mencarinya, mengenalnya lebih dekat, lebih emosional, dalam kacamata intelektual seorang ilmuan, dan tentu saja untuk memastikan desas - desus bahwa ia benar - benar menciptakan sebuah mesin yang membuat dunia maha geger itu. Sebuah mesin waktu.
Sedang beberapa Mahasiswa yang mengenalnya akan berkata ia seorang Doktor yang suka mengigau seperti tidak menginjak tanah, nama yang cukup terkenal di Universitas tempat ia mencari dana penyokong risetnya dengan mengajar Antropolgi dan Sastra. Tidak heran jika nama itu melekat padanya yang suka lebih banyak menceritakan perkembangan terakhir penemuannya, yang ia beri nama Aleida. Mesin waktu itu bernama Aleida. Pada Mahasiswanya ia berkata bahwa Antropologi dan Sastra tidaklah terlalu berbeda jauh, kedua tema itu berdampingan seperti dua manusia yang bernasib sama, Antropolgi selalu menjadi sari pati kenangannya dan Sastra selalu menjadi pengingatnya.
"Apa itu benar Dok?, maksudku soal dua tema yang berdampingan itu?" tanya seorang Mahasiswa.
"Itu benar!" katanya menjawab penasaran seorang bocah yang baru memasuki dunia Universitas.
"Kenapa Doktor menyukai kedua tema ini?" tanyanya lagi.
"Karena aku akan membuat sesuatu yang lebih menakjubkan dari penemuan Antropologi yang tersembunyi, dan lebih indah dari cerita - cerita dalam Sastra"
"Oh ya?" jawab Mahasiswa itu dengan cepat, "Apa itu sejenis perkawianan dua tema yang melahirkan tema lain?"
"Bukan, nak!" katanya menarik napas sebentar, "Itu adalah mesin waktu, namanya Aleida, nama yang cantik bukan?"
"Wow!"
Semua hadirin membuat sorak sorai yang ramai, ada yang bertepuk tangan, ada yang berteriak, juga ada yang memukul - mukul muka meja. Ribut. Suara mereka mirip ledakan petir, seperti hendak memecah jendela - jendela gedung. Dan ia begitu senang, seolah - olah mendapat semangat baru atas hal yang ia sudah kerjakan sejak sepuluh tahun terakhir ini. Seolah - olah begitu. Ia tak peduli dan ia tetap senang.
~~~~
"Sebentar lagi akan selesai!" kata rekan kerjanya di Laboratorium, dari sisi ruang yang lain.
"Benarkah?" katanya sembari mendekat dengan langkah kecil yang cepat, seperti sedang berlari, tapi ia terlihat berjalan saja.
"Kita tinggal menambahkan sedikit bubuk semen, dan beberapa pewarna untuk mengenali dan mengurung partikel - partikel kejadian juga waktunya" kata peneliti itu menjelaskan sedikit ide hasil perkiraannya, melalui rumus kekekalan massa yang dikalikan dengan rumus perhitungan waktu ketika bumi pertama kali tercipta.
"Kau jenius kawan!" katanya riang setelah penantian lamanya membuahkan titik terang, "Nanti kau ku traktir minum bir"
"Baiklah, kita akan lihat siapa yang lebih dulu mabuk!" mereka kemudian saling membalas tawa, sebelum menutup ruang laboratorium itu pada pukul sembilan malam.
Dalam suasana yang remang, di bibir pantai, dengan botol bir di atas meja, juga daging panggang teriris, kedua merayakan kemajuan proyek mesin waktu itu. Mereka kemudian saling mencipta pandangan yang dalam, juga serius. Khas lelaki. Sang peneliti itu lalu bertanya pada Jhon.
"Apakah ini tidak berbahaya untuk umat Manusia?"
"Maksudmu?" Jhon bingung dan kini ia yang bertanya.
"Kau tau, kita akan melihat segala sesuatu yang pernah terjadi selama ini" kata rekannya lagi, sambil mengangkat botol bir ke depan wajahnya.
"Tentu!" ia ikut mengangkat botol bir miliknya, "maksudku tentu kita akan melihat segala kejadian yang pernah ada di bumi, lebih dari itu, kita juga bisa mengubahnya"
"Itu yang ku takutkan, Jhon!"
"Maksudmu?"
"Kau tau, jika salah satu saja dari kejadian itu kita rubah, aku takut aku tidak akan terlahir ke dunia karena mungkin saja ayah dan ibuku tidak bertemu dalam sebuah situasi yang berbeda, aku juga takut kehilangan cinta pada seorang gadis di desaku, aku juga takut tidak bertemu lagi denganmu, dan kita tidak bisa menciptakan penawarnya" katanya mulai menundukan wajah, mungkin ia sudah mabuk.
"Lihat sisi positifnya, kita akan menyelamatkan dunia yang sudah terlanjur kacau ini" Jhon hanya tersenyum, memandang anak muda, ilmuan muda yang beruntung terlahir dari sepasang suami istri kaya raya, yang mungkin esok akan segera wafat dan menyerahkan warisan mereka pada rekannya itu.
Kini rekan mudanya itu sudah tertidur, mabuk karena menegak sebotol bir, dan ia biarkan saja kawannya itu menikmati mimpi, mungkin kawannya itu dahulu pernah ingin menjadi seorang astronot, atau barangkali ingin menikah dengan seorang keturunan brazil, dan esok mereka akan kembali memperbaiki semuanya, mencegah segala kekacauan, dan tentunya memulai hidup baru.
~~~~
20 Tahun Lalu.
Sepasang suami istri berjalan melewati barisan troli, kemudian berhenti di depan penjagaan, mereka sepakat akan menempuh penerbangan yang berbeda, demi anak mereka yang baru seminggu bisa ditinggal bersama pembantu.
Kematian terbesar di dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas, dan yang paling sering adalah di darat. Meski begitu beberapa kali pesawat telah jatuh mendarat dengan tubuh hancur dan meninggalkan data di kotak hitam. Istriku Aleida juga tak ingin kematian konyol akan membuntut pada masa depan anak mereka. Gila saja, aku tak bisa begitu percaya pada kotak hitam itu, meski pembuat tiket dan pesawat bisa saja menanggung ganti rugi karena kehilangan nyawa. Tapi tetap saja putraku masih terlalu kecil. Kata istriku suatu kali sebelum memasuki gerbang penerbangan.
Menempuh penerbangan terpisah adalah satu - satunya cara, agar salah satu dari kami tetap hidup, jika ada kecelakaan yang menimpa kami. Ini bukan ide yang bagus, tapi ini cara paling aman untuk putra kami. Dan Istriku sepakat.
Kemudian semua berubah karena kejadiaan naas itu memeluk pesawat yang ditumpangi istriku. Langit tiba - tiba saja gelap selang beberapa detik setelah pesawat itu lepas landas. Ketika petir menyambar, pesawat itu kehilangan daya dukungnya, dan jatuh tepat di seberang bandara. Istriku meninggal dalam bangkai yang tidak utuh, dan kotak hitam hanya memberikan namanya padaku, juga sebagian informasi tentang ganti rugi yang akan di tanggung oleh pihak penjual tiket.
Melalui masa berkabung dengan putra semata wayang tidaklah selalu mudah. Pertama karena kami sama - sama seorang lelaki. meski ia baru berumur tiga tahun, tapi kami harus tetap saling menghargai perasaan dan juga kesan berhati baja diantara kami. Ia tidak menangis waktu itu, aku juga tidak, karena tak mungkin menangis di depannya. Aku mencintai istriku, dan ia mencintai ibunya, karena alasan itulah, dan keinginan agar mendapat kasih sayang ibu, aku menitipkannya pada seorang sahabat yang kaya raya. Sahabat dan istrinya itu tak memiliki anak, meski sudah mencobanya berkali - kali, dan mereka senang aku bersedia meminjamkan anak itu pada mereka.
Beberapa tahun kemudian, anak itu tumbuh dalam keluarga bahagia, mendapatkan apa yang dia inginkan, kemudian menjadi seorang ilmuan, lulusan Universitas ternama di Asia tenggara, yang berkemampuan sekaliber penemu hukum kekekalan massa.
~~~~
Terbangun dari mabuknya, rekan kerja Jhon mencari - cari kesadarannya. dan meminta maaf atas ketidak patutannya mengkhawatirkan segala kemungkinan bercampurnya bubuk semen, bahan pewarna, dan perkalian rumit antara hukum kekekalan massa dan rumus waktu ketika bumi pertama kali diciptakan.
Dan mereka kemudian melanjutkan kerja mereka. Menciptakan mesin waktu bernama Aleida.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI