[caption id="attachment_204869" align="alignleft" width="300" caption="sumber: nusantaraphotoclub.org via google"][/caption] Dua karyawan komuter, Udin dan Anto bertemu dalam salah satu bus ekonomi. Mereka terlibat percakapan serius masalah agama, maklum keduanya lagi seneng-senengnya belajar agama. Hiruk pikuk pengamen dan teriakan kenek tak sedikitpun mengganggu keakraban dua sahabat yang tidak sengaja bertemu dalam satu bus menuju Pulo Gadung. "Din, tahu gak, tadi malam saya ngaji terus pak ustad mengatakan yang sampai sekarang masih terngiang di kepala. Katanya, belajar agama itu cukup lima menit, dan langsung praktekkan. Selebihnya belajarlah ilmu2 lain yang bermanfaat bagi orang banyak. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." "Apa benar belajar agama sependek itu, mana bisa? " "ya begitulah yang dikatakna pak ustad, di masjid" "terus kamu tidak bertanya, kenapa cuma lima menit?" Kebetulan saya merekam pengajiannya, mending kita kita putarkan saja ya." Dan headset pun dipsang di masing-masing telinga mereka.
----
Siapa bilang belajar “agama” itu sulit. Cukup singkat bahkan hanya beberapa menit saja. Namun prakteknya seumur hidup. Bandingkan dengan belajar Ekonomi misalnya, Waktu belajarnya lama, tapi prakteknya kadang tidak terpakai. Contohnya dalam Islam belajar berwudu paling memakan waktu 1 menit, shalat 2 menit dan puasa cukup dikasih tahu teorinya yang berjumlah dua saja: niat dan menahan lapar dari fajar subuh hingga sore hari (maghrib). Lalu kenapa yang disalahkan kurikulum?
Saya kira, dalam agama lain pun sama saja. Tidak perlu berhari-hari belajar tentang agama itu. Misalnya cukup datang ke gereja diarahkan dan disyahkan sebagai pemeluk agamanya.
Tidak ada yang menjadikan kesulitan dalam mempelajari suatu agama. Bila dibandingkan dengan belajar kuliah “eknomoni” misalnya, tentu memakan waktu ber-tahun-tahun. Bahkan anda akan dianggap gagal pada salah satu mata kuliah karena tidak disiplin dan tidak memenuhi target. Dalam agamanya apanya yang sulit. Agama dalam pengertian ibadah itulah yang saya maksud. Namun agama sebagai pengetahuan itulah yang kemudian disinyalir banyak terjadi silang sengketa. Namanya pemahaman pasti saja terjadi silang sengketa. Ini mirip dengan mata kuliah yang dikaji dalam kampus-kampus. Berbagai jurusan mewajibkan para mahasiswa agar mendalami perkuliahan dengan masa waktu yang tertentu. Masing-masing mahasiswa dituntut kecerdasanya untuk menguasainya agar bisa lulus dengan menghasilkan karya ilmiyah yang akan berguna bagi masyarakat. Lalu apakah dalam agama perlu kecerdasan? Saya kira tidak! Orang “bodoh”-kaya apapun pasti bisa mengerjakan shalat, puasa atau berhaji. Misalnya berhaji, asal ada uang dan kemampuan fisik pasti bisa berangkat ke Tanah Suci Mekkah bagi umat Islam. Bahkan orang sakit pun shalat tidak dituntut untuk berdiri bahkan tiduran pun bisa bahkan tidak mengucapkan apa-apapun juga bisa sah shalat tersebut. Demikian juga bagi agama lain. Gara-gara sakit apakah kemudian dicap keluar atau gagal menjadi agama yang dipeluknya? Lebih praktis lagi, jika di KTP saja tertulis salah satu agama, maka orang tersebut tidak keluar dari agamanya. Kecerdasan agama letaknya dimana? Saya kira kecerdasan itu terletak pada akal, sedangkan keimanan pada hati. Tentunya agama akan lebih manfaat jika ditanam dalam hati. Sehingga timbul orang yang berhati-hati: saat berbicara, bertindak, bergaul, bertingkah laku dan seterusnya. Sebab hati yang adem, akan bisa menghargai orang-orang di sekitar kita. Emosional akan terkikis, nafsu serakah akan terjungkal bahkan kejujuran akan bersemi terus menerus dalam hati. Sedangkan jika agama diletakkan di dalam akal saja, silahkan lihat fenomena ini: timbul silang sengketa, kafir mengkafirkan, perang ayat, perang keangkuhan. Akhirnya, menurut saya “agama akal” sangat bermanfaat untuk mengatur tatanan keduniaan saja dan itu sudah diaplikasikan dalam ilmu pengetahuan: ekonomi, fisika, kimia, biologi, sosiologi dll, semua itu agama "agama-agama" yang bermanfaat bagi kajian masyarakat. Sementara “agama hati” yang mengajarkan moralitas, tingkah laku, kejujuran, kedamaian dan ketentraman. Karena di dalam hati, rasa dan perasaan, empatis dan menghargai pihak lain akan ditempa. Kalau agama diletakkan di akal, memiliki potensi destruktif. Sebab jika berbeda pandangan, sementara pondasi imannya (hatinya) penuh nafsu, pastilah akan menyalahkan orang lain dengan gaya dan metodenya sendiri dan kalau perlu menghanguskan segalanya, jangan ada yang hidup selain teknik dan montase agamanya sendiri. Buat apa berlabel atau berbaju agama namun nilai religiusitas agama itu sendiri sirna dalam individu. Jika Indonesia kedepan masih tertarik dengan pamer-pameran agama, maka tidak beda dengan para “selebritis” yang suka pamer paha(la)….. Saatnya agama diletakkan dalam hati jangan di pikiran saja. Stress nantinya melihat orang lain yang tidak seide dan tidak seperti apa yang dipahami. Orang yang tidak pakai jilbab akan diberangus, orang yang tidak baca quran akan dicap islam abal-abal, orang yang tidak pernah shalat di masjid akan dibakar hidup-hidup, orang yang bergaul dengan penganu agama lain akan dicap kafir, orang yang tidak mengikuti kemauannya, akan dicap liberal... dst.... Salah satu kebanggaan agama akal suka memamerkan pengetahuan agamanya baik dalam obral “ayat” maupun obral “baju”. Itulah yang disebut kecerdasan agama? au ah gelap. .... Udin dan Anto ucek-ucek mata, dan bangkit dari duduknya. Rencana mau berhenti di Pulo Gadung, malah balik lagi ke Blog M. Rupanya mereka tidak mendengarkan MP3 yang diperdengarkan lewat mini earphonnya... :D Salam Kompasiana Kurtubi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H