Tidak jarang, "kyai FM" ini sangat dicintai masyarakatnya. Persis seperti radio FM yang lebih diminati masyarakat kita. Sehingga di mana-mana seluruh gelombang radio berpindah pada jalur FM. Hal ini karena karakter kuat pada gelombangnya juga jernih suaranya. Demikian itu bila ilmu ini melekat pada seorang "kyai FM", maka tidak mustahil, pancaran gelombang ilmunya kuat, prilakunya santun dan nasehatnya jelas, dan tentu saja enak di dengar telinga. Pada akhirnya, tidak mustahil pancaran ilmu dari "kyai FM" ini akan di relay ulang di setasiun daerah masing-masing santrinya dan tentu masyarkat sekitar santri itu akan ramai-ramai mendengar lantunan gelombang "kyai FM" yang indah itu.
Gelar "Asal Gobleg"
Jika saja ketiga asumsi umum di atas tidak ada, maka dikhawatirkan muncul istilah yang kurang enak didengar. Sebuah istilah bagi orang Jakarta ketika melabeli sesuatu yang tidak serius atau asal-asalan dengan istilah "asal gobleg".
Orang kerap mencibir untuk sarjana pendidikan modern pada akronim S.Ag. Harusnya sarjana agama, tapi dicibir dengan akronim "sajana asal gobleg". Jika demikian, sangat dikhawatirkan seandainya ada "kyai" atau "santri" yang hanya membela label saja namun kurang perhatian pada khasanah ilmunya tidak mustahil orang akan melabeli dengan istilah ini. Karenanya kita berharap jangan sampai segelintir orang mengarahkan kepada kyai atau kepada santri dengan istilah "santri asal gobleg". Semoga kita terhindar dan berlindung pada Allah swt.
Kitapun tidak bisa menutup mata. Sebab tidak jarang, kampus-kampus kita banyak yang menghasilkan sarjana-sarjana "asal gobleg". Jika saja mereka menjadi mitra pemerintah atau manajemen publik, urusannya makin kacau. Kepentingan keilmuan akan tidak "nyambung" dengan kepentingan publik. Kemanfaatan ilmu untuk kemaslahatan umum, akan diberangus dengan kepentingan pribadi.
Tidak aneh, jika munculnya sifat-sifat hedonistik: korupsi, kolusi dan nepotisme buta pada bangsa ini, benar-benar membutakan semua wacana dan menutupi sinar ilmu yang menyinari semangat kedamaian dan ketentraman. Akhirnya, hanya berharap semoga semua itu bisa terkikis dengan semangat revolusi untuk terus-menerus menggiati berbagai disiplin ilmu dari masing-masing keahlian.
Upaya untuk mengatasi permasalahan ini bagi penulis sangatlah tidak mumpuni. Karena penulis bukanlah ilmuwan yang bisa memaparkan hasil penelitian ataupun refleksinya. Secercah harapan untuk mengatasi itu tentu saja bisa lahir dari setiap individu. Ataupun bisa lahir dari para pengendali kebijakan setiap lembaga modern atau tradisional yang peduli pada tetesan semangat keilmuan.
Harapan ini semata-mata merupakan ikhtiar guna membangun bangsa yang kini telah banyak dipengaruhi oleh sarjana-sarjana "asal gobleg" yang diluluskan oleh segelintir lembaga kampus kota. Semoga kita berharap besar jangan sampai lembaga kampus kampung (pesantren) ikut-ikutan arus dengan meluluskan S.Ag (santri "asal gobleg").
Artikel ini disubmit juga ke : My Blog dan My Pesantren
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H