Mohon tunggu...
KURNIAWATI AGUSTIN
KURNIAWATI AGUSTIN Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Nulla Aetas Ad Discendum Sera"

Legal Research Assistant

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mempermudah Bukan Mempermuda Semua Proses Politik bagi Rekrutmen Kepemimpinan di Semua Level

17 Juni 2024   09:12 Diperbarui: 17 Juni 2024   09:12 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam memutus perkara Nomor 23 P/HUM/2024, Hakim Mahkamah Agung dinilai telah keluar dari tugas konstitusionalnya karena menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pedoman atas uji materil Peraturan Komisi Pemilihan Umum  Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan keempat atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum  Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, pengujian yang dilakukan seharusnya pertentangan antara Peraturan Komisi Pemilihan Umum  dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

Tugas konstitusional Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 23 P/HUM/2024  adalah menguji peraturan yang posisinya di bawah Undang-Undang. Sementara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah tugas dari Mahkamah Konstitusi. Jadi dengan Mahkamah Agung mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945, hal ini dinilai sudah keluar dari tugas konstitusional Mahkamah Agung. Mahkamah Agung ialah pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali, serta menjaga supaya semua hukum dan Undang-Undang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia diterapkan secara adil, tepat serta benar.

Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,  wewenang Mahkamah Agung adalah mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain, serta memiliki kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, selain itu juga mempunyai kewenangan lain yang diberikan Undang-Undang. Ketentuan tersebut mengatur mengenai hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji tersebut dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.

Putusan Mahkamah Agung  Nomor 23 P/HUM/2024 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, kedua produk yudisial tersebut mempunyai spirit dan pola yang sama serta sama pula kontroversialnya. Harusnya pola ini bisa menjadi alasan bagi publik untuk menduga bahwa hal ini  adalah modus operandi. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024  merupakan replikasi dari pengujian serupa lewat putusan Mahkamah Konstitusi saat pemilihan Presiden 2024. Jika putusan Mahkamah Konstitusi mengakomodasi sang kakak, maka putusan Mahkamah Agung dinilai memfasilitasi sang adik.

Pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 23 P/HUM/2024 menyatakan bahwa membatasi usia pencalonan 30 tahun bagi Gubernur/Wakil Gubernur, dan usia pencalonan 25 Tahun bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum, hanya akan menggambarkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dari sisi Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara pemilihan, namun tidak menggambarkan keseluruhan original intent yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, bahkan memangkas original Intent Undang-Undang tersebut, terutama dalam mengakomodir kesempatan Anak-anak muda untuk ikut serta membangun bangsa dan negara. Selain itu Hakim Mahkamah Agung juga  berpendapat dalam pertimbangan hukumnya bahwa perubahan tafsir perihal kapan harus dipenuhinya usia Calon Kepala Daerah yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum dari waktu ke waktu merupakan inkonsistensi yang dapat menimbulkan ketidakadilan bagi warga negara Indonesia dan tidak berkesesuaian dengan prinsip kepastian hukum.

Ketidakadilan yang sesungguhnya yaitu ketika Mahkamah Agung memutus perkara Nomor 23 P/HUM/2024  yang mengubah batas usia minimal calon kepala daerah dihitung pada saat pelantikan adalah waktu yang tidak serentak dan hal itu merupakan wewenang Komisi Pemilihan Umum untuk menentukan kapan waktu pelantikan. Waktu pelantikan kepala daerah terpilih tidak serentak dan tidak bisa ditentukan dari sekarang karena berkaitan dengan sengketa hasil pemilihan kepala daerah 2024. Jika hasil pemilihan kepala daerah di suatu wilayah tidak menimbulkan sengketa, maka kepala daerah tersebut dapat langsung dilantik setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah. Sementara itu, jika hasil pemilihan kepala daerah di suatu wilayah menimbulkan sengketa, maka pelantikan harus menunggu Putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa tersebut. Jadi, ketidakadilan antar calon menjadi terbuka lebar jika batas usia minimal calon kepala daerah dihitung pada saat pelantikan.  Patut dipertanyakan dan dicurigai terhadap putusan Mahkamah Agung yang seperti ini.

Perlu diketahui pula bahwa penafsiran original intent menitikberatkan pada penilaian konflik norma hukum berdasarkan pada original meaning yaitu mencoba menghadirkan semangat awal terbentuknya konstitusi tertulis lewat perdebatan-perdebatan pada saat penyusunan Undang-Undang Dasar, yang mendasarkan pada pemahaman serta tujuan konstitusi dari pendapat para penyusun konstitusi.

Putusan Mahkamah Agung tentang perubahan syarat  usia kepala daerah ini sangat problematik dan sarat akan kepentingan politik. Putusan yang mengubah klausul penghitungan usia syarat pencalonan kepala daerah yang awalnya terpenuhinya usia calon kepala daerah dihitung pada tahapan penetapan pasangan calon  kemudian diubah menjadi terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih tersebut dinilai sebagai bentuk rekayasa konstitusional yang terencana dan sistematis. Sangat sulit membantah jika putusan ini bukan merupakan bentuk rekayasa hukum untuk kepentingan politik calon tertentu. Bagaimana tidak dinilai bermuatan politis dan menyalahi prosedur, serta mendapat sejumlah kontroversi lantaran dibuat dalam waktu yang singkat. Mahkamah Agung hanya memerlukan waktu tiga hari untuk mengubah aturan batas minimal usia kepala daerah sejak diproses tanggal 27 Mei kemudian diputus pada tanggal 29 Mei 2024.

Menurut Najwa Shihab, secara prinsip semua proses politik bagi rekrutmen kepemimpinan di semua level harusnya dipermudah, jadi segala hal yang kemungkinan akan mempersulit warga negara untuk masuk dalam proses politik rekrutmen kepemimpinan termasuk batas usia harus dihilangkan satu per satu. Namun saat ini sistem politik dalam rekrutmen kepemimpinan bukan mempermudah tapi hanya mempermuda seperti halnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Mahkamah Agung tersebut. Sekarang realitanya jika tidak mempunyai darah politik, atau tidak dekat dengan oligarki elite partai, dan jika tidak mempunyai uang atau logistik yang besar sangat kecil kemungkinan bisa masuk menjadi kandidat kepemimpinan di level apapun di negeri ini. Dan itu bukan hanya di level eksekutif melainkan juga di level legislatif. Jadi ini bukan hanya mengenai siapa yang akan menjadi calon presiden, calon wakil presiden, calon gubernur, calon wakil gubernur, ataupun di berbagai level kepemimpinan lainnya. Anak muda yang digadang-gadang dalam pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam putusan yang mengubah batas usia minimal calon kepala daerah dihitung pada saat pelantikan, percuma jika bapakmu tidak mempunyai kekuasaan, pamanmu tidak mempunyai kekuasaan, kakek ataupun adikmu juga tidak mempunyai kekuasaan serta tidak mempunyai uang. Anak-anak muda tanpa privilege akan sangat sulit untuk menjadi calon kepala daerah karena putusan Mahkamah Agung tersebut hanya akan membuka peluang bagi anak muda yang memiliki afiliasi kuat dengan politik dinasti dan kekerabatan. Bukan untuk menciptakan kontestasi yang adil serta setara.

Berdasarkan hasil studi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan bahwa masih rendahnya representasi anggota DPR yang berusia di bawah 40 tahun dibandingkan data populasi pemilih yang berusia di bawah 40 tahun secara nasional. Politisi muda masih kesulitan untuk bisa menembus Senayan karena masih tingginya dinasti politik, lebih dari setengah dari jumlah anggota DPR muda yang terpilih yaitu 50 dari 87 orang memiliki hubungan dengan dinasti politik atau sebesar 57,5 persen dari anggota DPR muda yang terpilih. Cukup besarnya anggota DPR terpilih yang terasosiasi dengan dinasti politik, yaitu secara keseluruhan dari 580 anggota DPR pada pemilu 2024, 138 orang atau 23,8 persen memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan dinasti politik. Selain itu status petahana masih memberikan keuntungan bagi anggota DPR yang maju, apalagi data tren menunjukkan meningkatnya keterpilihan petahana dari pemilu ke pemilu. Kondisi tersebut menjelaskan betapa sulitnya bagi para pendatang baru untuk bertarung dalam pemilihan, apalagi pada saat yang sama harus berkompetisi dengan para caleg dinasti politik dan biaya politik yang  sangat mahal.

Hasil studi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tersebut mendorong perlunya kemauan elite politik untuk mendorong peningkatan keterwakilan politisi muda, perempuan dan politisi yang berasal dari orang-orang biasa untuk dapat mencalonkan diri dan terpilih dalam pemilihan umum. Sistem pemilu perlu memastikan agar terjadi keseimbangan dan kesetaraan politik di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, sehingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih, paling tidak mendekati dari karakter populasi. Salah satu usaha yang dapat didorong adalah penerapan kuota bagi pencalonan serta kepengurusan calon legislatif  partai yang berusia di bawah 40 tahun. Selain itu, setelah Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka hampir 25 tahun, perlu ada evaluasi menyeluruh terutama terhadap efektivitas sistem tersebut untuk meningkatkan keterwakilan politik anak muda dan perempuan, serta meningkatkan representasi politik antara wakil rakyat dan masyarakat di daerah pemilihan atau konstituen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun