Mohon tunggu...
Filsafat

Belajar dari Pengemis Pondok Cina

31 Mei 2015   21:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam menunjukan pukul 6 pagi waktu Depok, saatnya mencari sesuatu untuk menyegarkan badan. Kali ini Saya sengaja mencari sesuatu ditempat yang berbeda dari yang lazim Saya datangi.
Saya langkahkan kaki ke arah area Stasiun Pondok Cina, jalur yang biasa Saya tempuh saat akan menuju ke FKM UI dari tempat Saya kos.

Dihari-hari biasa Saya berangkat ke kampus, Saya tidak begitu memperhatikan hadirnya beberapa pengemis di sepanjang jalur sempit (jalan setapak) yang menyusuri kampus D Gunadarma menuju akses UI.
Bahkan menurut Saya jalur sempit tersebut lebih pas disebut gang senggol dibanding sebutan gang senggol asli yang familier kita dengar sebagai tempat Kami foto kopi dan makan bakso.
Tiap kali melewati jalan setapak tersebut Saya pasti akan "senggolan" dengan orang lain. Bahkan jika Kita melambatkan sedikit kecepatan kaki Kita, maka yang dibelakang akan meng klakson dengan suara "permisi pak".

Tetapi di pagi hari yang masih sepi dan dingin ini, mata Saya tertegun akan sosok pak tua yang biasa "mangkal" di gang senggol II ini. Jauh sebelum kita bangkit untuk bersiap-siap menghadapi aktifitas hari ini, dia sudah terlebih dahulu stand by di lokasi favorit dia. Terlepas bagaimana masyarakat menilai tentang pekerjaan dia, ada satu pesan moral yang Saya petik dari sosok pak tua tersebut. Bahkan untuk menguji tergugahnya hati Saya akan pak tua tersebut, hari itu Saya sengaja ingin melihat sampe jam berapa dia stay tuned di lokasi tersebut. Dan sore hari selesai kuliah saat saya melewati jalur yang sama ternyata si bapak masih ada disitu dan tetap di tempat yang sama seolah-olah tak bergeming, Allahuakbar.

Pesan moral yang Saya dapat adalah bahwa betapa semangat dan optimisnya dia menatap hari. Untuk selalu husnudzon akan rahmat Allah. Dan saat senja datang, nilai moral yang Saya petik adalah betapa konsistennya dia akan harapan di hari itu, untuk selalu semangat dan istiqomah dengan tujuan.

Sejenak Saya teringat akan tempat Saya bekerja selama ini, dimana sepertinya budaya itu, budaya optimis, husnudzon, dan konsisten masih perlu dilatih dan diasah. Bahkan teringat pula akan diri sendiri yang sepertinya gak setangguh pak tua.
Bahwa sesungguhnya dengan menunjukan kinerja yang maksimal itu adalah salah satu wujud rasa syukur kita akan semua nikmatNYA.

Semoga bermanfaat.

Wallahualam bishowab.

@wawantt  (31 Mei 2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun