Mohon tunggu...
Kurniawan SYARIFUDDIN
Kurniawan SYARIFUDDIN Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Kebijakan Pertahanan dan Kerjasama Pertahanan Internasional

Pengamat kebijakan pertahanan dan kerjasama pertahanan internasional yang merupakan lulusan Universitas Pertahanan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mobilisasi Kekuatan Nasional dalam Perang Semesta: Studi Kasus Indonesia pada Penyelenggaraan Operasi Seroja 1975

6 Mei 2021   08:00 Diperbarui: 6 Mei 2021   07:59 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Pendahuluan.

Perang adalah merupakan kelanjutan pertikaian politik yang menggunakan cara lain (Clausewitz, 2007), penggunaan cara lain yang dimaksud dapat diartikan sebagai kontak bersenjata yang intens. Sementara itu kontak bersenjata yang intens adalah peperangan antar negara, ataupun kelompok bersenjata yang menggunakan kekerasan, tindakan agresi, penghancuran dan kematian dengan menggunakan kekuatan militer ataupun sipil bersenjata/para militer (ICRC, 2008). Untuk mendapatkan kemenangan terkadang melakukan berbagai cara yang pada akhirnya berkembang menjadi suatu perang total/semesta, dengan menjadikan obyek non-militer untuk dijadikan target ataupun didayagunakan untuk keperluan perang (Moseley, 2002).

Perang total/semesta sendiri pada awalnya disampaikan oleh Jenderal Prusia Carl von Clausewitz yang mengamati dari taktik perang yang digunakan oleh Napoleon Bonaparte, yang tidak saja mengamati efek kehancuran yang dihasilkan pada objek sipil, tetapi juga bagaimana dilakukan mobilisasi kekuatan angkatan perang dengan menerapkan wajib militer (Chickering & Forster, 2000), serta pemanfaatan potensi wilayah sekitar untuk mendukung kepentingan untuk perang, dalam hal ini kebutuhan logistik dan transportasi (Napoleon' s Strategy and Tactics, 2021).  

Penggunaan strategi perang semesta ini kemudian banyak diterapkan oleh banyak negara di dunia untuk memenangkan perang yang dilakukannya (Black, 2006), diantaranya pada saat perang saudara Amerika melalui taktik bumi hangus (Reid, 2011), perang dunia I melalui mobilisasi dan penggunaan infrastruktur non-militer (Gardner, 2018) dan juga saat perang dunia II yang melibatkan seluruh elemen dari kekuatan nasional yang dimiliki dari negara yang berperang (Chickering et al., 2005). Strategi perang semesta/total ini terus digunakan, bahkan pada saat era perang dingin (Osgood, 2006).

Indonesia sendiri juga menerapkan strategi perang semesta pada saat terlibat dalam kontak bersenjata yang intens, yang dimulai pada saat periode mempertahankan kemerdekaan, sehingga berhasil mencegah Belanda untuk melakukan penjajahan kembali (Groen, 1986). 

Definisi dari perang semesta bagi Indonesia sendiri adalah merupakan perang yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia dalam bidangnya masing-masing, serta pelibatan seluruh sumber daya nasional yang dimiliki untuk digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan perang, pengertian ini tidak menjadikan masyarakat sipil dijadikan sebagai kombatan seluruhnya (Cribb, 2001). 

Selanjutnya konsep perang semesta ini kemudian terus dikembangkan untuk dijadikan fondasi dalam menyusun strategi pertahanan negara (Turner, 2005). Tapi apakah strategi pertahanan negara ini digunakan juga pada saat melakukan perang yang bersifat ofensif yang dilakukan oleh Indonesia? Terkait dengan hal tersebut maka perlu dilakukan analisa terhadap penyelenggaraan Operasi Seroja yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia pada saat proses integrasi Timor Timur sebagai provinsi ke-27 pada periode 1975-1979, terutama dilihat segi mobilisasi kekuatan nasional yang dilakukan dalam rangka penerapan strategi perang semesta .

Perkembangan Geopolitik 1970-an.

Upaya untuk mengintegrasikan Timor Timur yang dimulai sejak bulan Desember 1975 tidak bisa dilepaskan dari perkembangan lingkungan strategis yang terjadi pada periode 1970-an awal. Perkembangan lingkungan strategis yang terjadi pada tingkat global, regional, maupun nasional ini membawa pengaruh yang signifikan terhadap konstelasi persaingan politik di Timor Portugis pada saat itu. Perkembangan-perkembangan yang mempengaruhi itu antara lain, adalah :

Revolusi Bunga Anyelir/Carnation Revolution di Portugal.

Pada lingkup Global, tepatnya di Portugal, penguasa dari Timor Portugis, pada tanggal 25 April 1974 telah terjadi Revolusi Bunga Anyelir dimana terjadi kudeta tidak berdarah terhadap pemerintahan otoriter Rezim Estado Novo. Peristiwa ini menyebabkan terjadi perubahan di Portugal menjadi lebih demokratis. Tidak sampai disitu saja, ternyata kudeta tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan antara sayap kanan dengan sayap kiri di pemerintahan paska kudeta, yang kemudian dimenangkan oleh partai-partai sayap kiri yang cenderung komunis (Wikipedia, 2021a).

Terjadinya revolusi yang juga dimotori oleh tentara yang berasal dari daerah jajahan Portugal di Afrika, yang mendorong Portugal akhirnya mengakhiri praktek kolonialnya sejalan dengan Resolusi PBB 1960 yang menyerukan dekonolisasi dan penentuan nasib sendiri bagi negara-negara yang dijajah. Hal ini juga berimbas kepada Timor Portugis, dengan diberikannya kesempatan kepada penduduk lokal untuk mendirikan partai-partai politik, dengan dua diantaranya merupakan partai dominan, yakni UDT yang lebih cenderung moderat dan Fretilin yang lebih condong ke komunis, seperti penguasa pemerintahan di Portugal saat itu (Khaerunisa, 2021).

Kekalahan Amerika Serikat di Vietnam.

Pada tingkat Regional, pada bulan April 1975 tentara Amerika Serikat baru saja meninggalkan kota Saigon/Ho Ci Minh, setelah terdesak oleh gerak maju pasukan Vietnam Utara dan Vietcong yang didukung oleh China dan Uni Sovyet yang komunis. Kekalahan di Vietnam dan juga berkuasanya Fretilin di Timor Portugis, semakin meningkatkan kekhawatiran Amerika Serikat terhadap berkembangnya ideologi Komunis di kawasan Asia Pasifik. Selain itu letak geograsinya yang tepat di "Pintu Masuk" Australia, juga meningkatkan kekhawatiran bahwa Timor Portugis akan dijadikan pangkalan aju Uni Sovyet untuk melakukan serangan (Khaerunisa, 2020).

Hal inilah yang menyebabkan Amerika Serikat, Inggris maupun Australia kemudian mendukung Indonesia untuk melakukan invasi ke Timor Portugis dengan memberikan bantuan secara tidak langsung melalui pemberian pelatihan dan juga persenjataan modern (PRMN, 2020). Amerika Serikat tidak dapat memberikan bantuan secara langsung, oleh karena saat itu Timor Portugis masih dalam kekuasaan Portugal yang juga anggota NATO dan terikat perjanjian untuk tidak saling menyerang.

Pertikaian Politik di Timor Portugis dan Periode awal Orde Baru.

Sementara di lingkup Nasional di Timor Portugis, sejak diberinya kesempatan penduduk lokal mendirikan partai politik, terjadi persaingan antara UDT yang pro Portugal dan Fretilin yang pro Kemerdekaan. Upaya untuk melakukan Dekolonialisasi diselenggarakan dengan mulai mengalihkan kegiatan administrasi maupun pengamanan oleh pemerintah Portugal kepada Fretilin yang lebih memiliki kedekatan ideologis. Hal ini menyebabkan UDT berupaya melakukan kudeta, akan tetapi mengalami kegagalan, sehingga kemudian melarikan diri menyeberangi perbatasan masuk ke wilayah Nusa Tenggara Timur di Indonesia (Fernandes, 2005).

Sementara itu, Indonesia yang sedang mengawali program pembangunan di zaman Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, berupaya untuk mencegah upaya Timor Portugis untuk merdeka. Hal ini disebabkan timbulnya gelombang keinginan untuk merdeka untuk beberapa wilayah yang berada di kawasan timur Indonesia. Selain itu Indonesia, seperti halnya Amerika Serikat, khawatir akan berkembangnya kembali ideologi Komunis yang baru saja melakukan percobaab kudeta pada tahun 1965 (VOI, 2019).

Operasi Seroja.

Operasi Seroja adalah operasi militer berskala besar yang pernah dilakukan oleh Indonesia secara ofensif ke wilayah Timor Portugis dalam rangka mengintegrasikan dalam pemerintahan Indonesia. Pertempuran diawali pada tanggal 7 Desember melalui serangan kapal perang yang membombardir kota Dili, sementara kapal yang membawa pasukan melakukan pendaratan di kota. Sementara itu 641 Pasukan terjun payung Indonesia dari Yonif Linud Kostrad dan Kopassus melakukan penerjunan ke kota Dili, di mana mereka terlibat dalam enam jam pertempuran dengan kelompok bersenjata Falintil, yang merupakan sayap paramiliter di bawah Fretilin. Pasukan Indonesia kemudian berhasil merebut kota, sementara Falintil terpukul mundur dan lari menuju pegunungan di pedalaman.Pada tanggal 10 Desember dilancarkan serangan lintas udara kedua dan berhasil menguasai kota terbesar kedua Baucau dan pada Hari Natal sekitar 10.000 hingga 15.000 tentara telah mendarat (Wikipedia, 2021b).

Selain dilakukan operasi terbuka berupa operasi lintas udara dan pendaratan Amfibi, sebelumnya telah dilakukna operasi sandi yudha dengan melibatkan pasukan dari Kopassandha yang bergerak melalui perbatasan darat antara NTT dan Timor Portugis. Operasi sandi yudha tidak saja melakukan operasi intelijen jauh di wilayah lawan, tetapi juga melakukan serangan terbuka ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Fretilin dengan Falintilnya, seperti Balibo dan sebagainya (Arifian & Sumarno, 2018). Operasi Seroja terus berlanjut sampai dengan tahun 1979, walaupun secara resmi Timor Timur telah menjadi provinsi ke 27 Indonesia pada bulan Juli 1976 (UU RI No. 7 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur Ke Dalam NKRI Dan Pembentukan Propinsi Daerah Tkt I Timor Timur, 1976).

Mobilisasi Elemen Kekuatan Nasional.

Doktrin Pertahanan Negara tahun 2007 disebutkan bahwa Indonesia menggunakan Strategi Perang Rakyat Semesta yang pada hakekatnya adalah, Perang Total seluruh rakyat Indonesia dengan mengerahkan segenap kekuatan dan sumber daya nasional untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa dari bangsa lain yang mengancam atau menduduki wilayah NKRI (Widjajanto, 2004). Perang Rakyat Semesta memiliki sifat kerakyatan, kesemestaan dan kewilayahan, dengan sifat kesemestaan yang dimaksud adalah melalui pengerahan seluruh kekuatan dan sumber daya nasional Indonesia untuk dapat dimobilisasi guna kepentingan menghadapi ancaman, baik dari luar maupun dalam negeri (Eko, 2021).

Kekuatan Nasional suatu negara adalah merupakan kekuatan yang ada dalam negara itu, untuk dapat mempengaruhi negara-negara lain, yang dalam pengertian perang kekuatan nasional ini akan digunakan untuk dapat mengalahkan musuh yang dihadapi (Eko, 2020). Menurut Morgenthau, kekuatan nasional suatu negara dibagi dalam 8 elemen, yang bersifat alamiah (Geografi, Sumber Daya Alam, Penduduk), serta yang bersifat sosial (Kapasitas Industri, Kesiapsiagaan Militer, Karakter/Kepemimpinan, Semangat/Moral Nasional, Kualitas diplomasi) (Morgenthau, 1948). Yang dalam penerapannya dapat menggunakan 4 instrumen, yakni Diplomasi, Intelijen, Militer dan juga Ekonomi (Farlin, 2014).

Diplomasi.

Pengerahan kekuatan nasional di bidang Diplomasi dilakukan mulai dari sebelum pelaksanaan tindakan ofensif, sampai dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Diplomasi yang dilakukan sebelum pelaksanaan tindakan ofensif diantaranya adalah mencari dukungan atas tindakan invasi yang akan dilakukan sampai dengan mendapatkan dukungan persenjataan yang mencukupi. Sementara itu ketika Timor-timur sudah terintegrasi, keuatan Diplomasi Indonesia terus dikerahkan untuk meyakinkan dunia luas bahwa keberadaan Indonesia adalah sah dan merupakan kehendak dari masyarakat.

Pada awalnya kekuatan Diplomasi Indonesia  berhasil untuk mendukung tercapainya kepentingan nasional untuk mengintegrasikan Timor Portugis, yang ditandai dengan terdapatnya unsur masyarakat setempat yang menginginkan berintegrasi dengan Indonesia dan juga dukungan dari beberapa besar dunia yang ditandai dengan kehadiran Presiden AS sesaat sebelum serangan pertama dilakukan (Japesa, 2015). AS juga memberikan izin kepada Indonesia untuk menggunakan persenjataan-persenjataan yang baru di beli, diantaranya pesawat OV-10 Bronco yang sangat ideal untuk mendukung pelaksanaan operasi darat.

Setelah menjadi bagian dari Indonesia, kekuatan Diplomasi tetap dikerahkan untuk menyakinkan keabsahan integrasi Timor-timur, walaupun kurang mencapai hasil yang diharapkan ketika banyak negara di dunia, termasuk PBB masih mempersoalkan hal tersebut. Akan tetapi ketika Timor-timor harus dilepas, kekuatan Diplomasi terus berupaya agar proses kemerdekaan Timor Leste dapat berjalan dengan baik tanpa ada upaya untuk memperpanjang permasalahan yang masih mengganjal.

Intelijen.

Intelijen Indonesia sangat berperan penting dalam mendukung perang yang akan terjadi, baik dalam mengumpulkan informasi terkait kondisi geografis, SDA, penduduk dan kondisi sosial masyarakat Timor Portugis. Operasi penggalangan berhasil dilaksanakan, sehingga berhasil dibentuknya partai APODETI yang mendukung integrasi dengan Indonesia, termasuk ketika UDT didesak oleh Fretilin kemudian mengalihkan keinginannya untuk juga berintegrasi dengan Indonesia, yang diwujudkan dalam penandatanganan Deklarasi Balibo (Timorese, 2002).

Kegiatan Intelijen juga dilakukan ke dalam negeri, terutama dalam mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah meyakinkan bahwa serangan yang dilakukan adalah untuk mencegah berkuasanya Komunis di dalam wilayah Nusantara (sentimen anti-Komunis masih tinggi di Indonesia) dan integrasi Timor Timur adalah keinginan dari masyarakatnya sendiri yang diwujudkan dalam bentuk Deklarasi Balibo. Kepemimpinan yang kuat dari Soeharto saat itu menjadikan moral nasional menjadi terpadu untuk mendukung proses integrasi Timor-Timur tersebut.

Militer.

Kesiapan militer Indonesia pada saat itu dapat dikatakan tidak terlalu baik, hal ini disebabkan banyak persenjataan yang dimiliki tidak lagi dapat digunakan oleh karena putusnya dukungan dari Uni Sovyet, sehingga diperlukan dukungan senjata baru dari negara lain, dalam hal ini AS. Dilain pihak hubungan yang membaik dengan AS dan negara-negara blok "barat" menyebabkan kesiapan militer Indonesia mengalami peningkatan, oleh karena gencarnya kegiatan pendidikan dan pelatihan bersama yang diselenggarakan pada saat itu.

Ditambah lagi dengan dukungan dari masyarakat setempat, eks pendukung UDT yang dikalahkan Fretilin, yang direkrut untuk bergabung dalam pelaksanaan serbuan darat melalui perbatasan dengan NTT. Akan tetapi hal ini yang kemudian menjadi blunder, ketika tidak lagi mampu dilakukan pengendalian pada saat Falintil telah dapat diusir ke pedalaman. Balas dendam kemudian banyak terjadi, sehingga terjadi pembantaian yang meluas di beberapa kota di Timor-Timur, yang pada akhirnya justru melukai hati banyak rakyat Timor-Timur, suatu hal yang sangat bertentangan dengan pokok-pokok perang anti-gerilya yang disampaikan oleh Nasution (Nasution, 1965)

Kesiapan Militer Indonesia dalam hal pengembangan taktik perang anti-gerilya yang kemudian menyebabkan ketidak berhasilan untuk menumbangkan perlawanan Falintil yang terus dilakukan secara terus-menerus sampai kemudian Indonesia meninggalkan Timor-Timur. Selain itu ketidak patuhan untuk mematuhi aturan menyebabkan juga terjadinya berbagai peristiwa yang bertentangan dengan hukum humaniter, diantaranya adalah pembantaian Santa Cruz (Savio, 2008).

Ekonomi.

Ekonomi Indonesia yang saat itu belum pulih dari kejatuhan pemerintahan Orde lama dan juga ketiadaan peralatan senjata yang mendukung, menyebabkan pada awalnya Soeharto enggan untuk menginvasi Timor Portugis. Akan tetapi bantuan dari AS dan juga dukungan seluruh rakyat Indonesia, yang menyebabkan seluruh kemampuan Ekonomi yang ada digunakan untuk mendukung proses integrasi tersebut, terlebih dengan bantuan dari negara-negara "Blok" Barat yang memberikan pinjaman lunak.

Setelah menjadi salah satu Provinsi, dukungan Ekonomi tidak henti-hentinya diberikan kepada Timor-Timur yang memang kurang berkembang mulai dari zaman kolonial Portugal. Upaya untuk memodernisasi cara hidup, pembangunan infrastruktur dan juga peningkatan kemampuan produksi hasil kopi dan cengkeh juga terus dilakukan. Akan tetapi upaya yang dilaksanakan menjadi sia-sia ketika rakyat setempat tidak mempercayai sistim pemerintahan yang berjalan, oleh karena menggunakan sistim yang berlaku umum di Indonesia, bukan yang telah berjalan selama ini di Timor-Portugis, bahkan tidak pernah dirubah oleh Portugal. Sekali lagi, hal ini bertentangan dengan pokok-pokok perang rakyat semesta yang disampaikan oleh Nasution, dimana sistim pemerintahan setempat harus dipertahankan untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab ketika Presiden B.J. Habibie kemudian memperbolehkan dilakukan referendum, oleh karena beban ekonomi selain politik yang sangat besar ditanggung oleh Indonesia.

Penutup.

Berdasarkan penjabaran diatas, telah dapat digambarkan secara jelas bagaimana segenap kekuatan dan sumber daya nasional yang dimiliki oleh Indonesia saat itu di mobilisasi untuk mendukung tercapainya kepentingan nasional, dalam hal ini melakukan serangan ofensif ke wilayah Timor-Portugis sebagai upaya mengintegrasikan dan menjadi bagian dari Indonesia. Mobilisasi yang dilakukan, diselenggarakan dengan memanfaatkan seluruh instrumen dalam pengerahan berbagai elemen kekuatan nasional yang ada. Hal ini yang sedikit banyak menjadi dasar bahwa Indonesia juga menerapkan strategi perang semesta ketika melakukan serangan ofensif dengan taktik konvensional, tidak saja melakukan tindakan defensif dengan taktik perang gerilya pada saat perang mempertahankan kemerdekaan 1946-1949.

Akan tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, oleh karena kajian yang dilakukan hanya terbatas pada sifat kesemestaan, sedangkan sifat kerakyatan maupun sifat kewilayahan belum dilakukan. Hal ini disebabkan bahwa dalam perang yang dilakukan, hanya melibatkan unsur kekuatan militer saja yang terlibat secara langsung, unsur masyarakat belum terlihat menyeluruh. Hal yang sama terkait kewilayahan, bahwa perang yang dilakukan pada saat invasi hanya terbatas di kota-kota besar saja, walaupun kemudian dari tahun 1979-1999 Indonesia melakukan perang anti-gerilya di seluruh wilayah, akan tetapi kajian hanya dilakukan pada saat dilakukan tindakan ofensif antara tahun 1975-1979.

Indonesia berhasil menerapkan strategi perang semesta ketika menyerang Timor-Portugis, dengan tingkat keberhasilan yang baik. Akan tetapi hal ini kemudian tidak dapat dipertahankan, ketika pokok-pokok perang anti-gerilya tidak dapat dijalankan dengan baik, sehingga Indonesia tidak pernah memenangkan pertempuran di Timor-Timur secara menyeluruh. Upaya Mobilisasi yang maksimal di bidang Diplomasi dan Ekonomi, yang kurang diimbangi pada sektor Militer dan juga Intelijen, menjadi salah satu sebab ketika Indonesia harus merelakan melepaskan provinsi Timor-Timur untuk kemudian merdeka menjadi negara Timor Leste.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Arifian, D. S., & Sumarno. (2018). Operasi Seroja Di Timor-Timur Pada Tahun 1976-1979. Pendidikan Sejarah, 6(4).
  • Black, J. (2006). The Age of Total War, 1860-1945. In Studies in Military History and International Affairs. Praeger Security International.
  • Chickering, R., & Forster, S. (2000). Great War, Total War: Combat and Mobilization on the Western Front, 1914-1918 (I. German Historical (Ed.)). Cambridge University Press.
  • Chickering, R., Forster, S., & Greiner, B. (2005). A World at Total War: Global Conflict and the Politics of Destruction, 1937---1945. In C. Mauch (Ed.), German Historical Institute. Cambridge University Press. https://doi.org/10.3200/hist.34.4.132
  • Clausewitz, C. von. (2007). On War. In B. Heuser (Ed.), Oxford World's Classics. Oxford University Press. https://doi.org/10.1177/0040571X9609900402
  • Cribb, R. (2001). Military Strategy in the Indonesian Revolution: Nasution's Concept of 'Total People's War' in Theory and Practice. War and Society, 19(2), 143--154. https://doi.org/10.1179/war.2001.19.2.143
  • Eko, R. (2020). Elemen Kekuatan Nasional. Universitas Pertahanan.
  • Eko, R. (2021). Mobilisasi Kekuatan Nasional Dalam Perang Semesta: Kasus Indonesia. Universitas Pertahanan.
  • Farlin, J. (2014). Instruments of National Power: How America Earned Independence. https://publications.armywarcollege.edu/pubs/87.pdf
  • Fernandes, C. (2005). Companion to East Timor-Kolonialisme , Kemerdekaan dan Masa Depan Timor-Leste. School of Humanities and Social Sciences, 1--14.
  • Gardner, N. (2018). Military Lessons of the First World War. In International Encyclopedia of the First World War (Issue April, pp. 1--15).
  • Groen, P. M. H. (1986). Dutch armed forces and the decolonization of Indonesia: The second police action (1948-1949), A Pandora's box. War and Society, 4(1), 79--104. https://doi.org/10.1179/106980486790303862
  • ICRC. (2008). How is the Term "Armed Conflict" Defined in International Humanitarian Law? International Committee of the Red Cross (ICRC) Opinion Paper, 2(March), 1--5.
  • UU RI no. 7 tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke dalam NKRI dan Pembentukan Propinsi Daerah tkt I Timor Timur, (1976) (testimony of Republik Indonesia).
  • Japesa, R. P. (2015). Integrasi timor timur ke dalam pemerintahan indonesia 1976 - 1999. Sanata Dharma Yogyakarta.
  • Khaerunisa. (2020). Sejarah Timor Leste: Alasan Timor Timur Diinvasi Indonesia dan Campur Tangan Amerika Serikat dalam Operasi Seroja. Intisari Online, 1--8.
  • Khaerunisa. (2021). Sejarah Timor Leste Tak Lepas dari Revolusi di Portugal , Ini Fakta-fakta yang Perlu Diketahui Tentang Revolusi Anyelir Itu. Intisari Online, 1--7.
  • Morgenthau, H. J. (1948). Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace (first). Alfred A. Knopf, Inc.
  • Moseley, A. (2002). A Philosophy of War. In Algora Publishing.
  • Napoleon' s Strategy and Tactics. (2021). Napoleonistyka.Atspace.Com.
  • Nasution, A. H. (1965). Fundamentals of Guerrilla Warfare. In O. Heibrunn (Ed.), Praeger (Facsimilie). Frederick A. Praeger. https://doi.org/10.2307/2754103
  • Osgood, K. (2006). Total Cold War: Eisenhower's Secret Propaganda Battle at Home and Abroad. University of Kansas.
  • PRMN, T. (2020). Dokumen Rahasia Sebut Inggris dan AS Punya Peran di Balik Operasi Seroja di Timor Leste. Pikiran-Rakyat.Com.
  • Reid, B. H. (2011). The American Civil War And The Strategy Of Attrition, 1861--65. The RUSI Journal, 156(3), 88--95. https://doi.org/10.1080/03071847.2011.591103
  • Savio, R. D. A. (2008). Membendung Arus gerakan pro timor -- leste di indonesia 1991-1999 skripsi. Sanata Dharma Yogyakarta.
  • Timorese, T. (2002). A brief history of East Timor. In East Timor Human Development Report 2002.
  • Turner, B. (2005). Nasution: Total People's Resistance and Organicist Thinking in Indonesia (Issue December). https://researchbank.swinburne.edu.au/file/23b9333d-f831-441b-8c7e-97be4b1b9061/1/Barry Turner Thesis.pdf
  • VOI, R. (2019). Sepenggal Kisah Timor Timur Merdeka dari Portugal Kemudian " Dicaplok " Indonesia. VOI.Id.
  • Widjajanto, A. (2004). Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia. 1--31.
  • Wikipedia. (2021a). Carnation revolution. Wikipedia.
  • Wikipedia. (2021b). Operasi Seroja. Wikipedia Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun